Wednesday, September 14, 2016

Weekend at Ora - Part 1 "Perjalanan Menuju Hidden Paradise"

Mungkin ada di antara kalian yang mengikuti update feed di sosmed saya. Beberapa hari ini saya share satu pantai yang kece banget. Kalau yang sering baca-baca tentang tempat wisata di Indonesia mungkin sudah familiar tapi ada juga yang masih bertanya ke saya, "Non, kok bagus, itu dimana?" Kalau ada yang begini kadang saya merasa sedih. 

Ora dari kejauhan

Tempat yang saya share padahal masih di Indonesia, tapi ada saja yang tidak tahu itu dimana, tambah lagi dengan makin kencengnya newsfeed di media sosial, khususnya di facebook yang sering dan banyak sekali orang yang share tentang tempat-tempat wisata di Indonesia, tapi kok ya masih ada saja yang tidak tahu. Yah, tapi gakpapa juga sih gak tahu, mungkin bagi orang-orang ini pekarangan depan rumahnya adalah tempat terindah di Indonesia versi mereka. Mungkin saja kalau saya bukan makhluk nomaden yang punya tempat tinggal permanen pekarangan rumah saya juga akan menjadi taman terindah bagi saya.

Yaa, udahlah yaaww...

So, weekend kemaren saya pergi minggat lagi dari Jailolo, dong! Gila kan gue. Hahaha. Belum juga genep sebulan dari trip nekat ke Berau pertengahan Agustus lalu, saya sudah planning trip ke Maluku. Asal mulanya sama, dari ajakan sahabat saya yang penempatan di Maluku, "Weekend 10-11 September aku mau ke Ora, lagi."

"Buset, lagi?" Baru juga April lalu dia ke Ora, ini mau ke sana lagi. Tanpa pikir panjang, cuma ngecek kalender yang ternyata pas banget ada libur Idul Adha, "Oke, aku ikut!" Beberapa hari kemudian pun langsung saya beli tiket pesawatnya, takut jadi makin mahal yang ternyata sampai seminggu sebelumnya pun harganya masih sama aja, malah sempet turun dikit. Hmmm, mungkin memang rute Ternate-Ambon harga tiket pesawatnya tidak terlalu fluktuatif, kecuali 2-3 hari sebelumnya.

Pertama Kali ke Ambon

Ini adalah pengalaman pertama saya pergi ke Ambon, ibukota provinsi Maluku. Tolong dicamkan ya, Maluku dan Maluku Utara itu berbeda provinsi. Bagi anak-anak generasi 90-an yang dulu belajar geografinya masih diajarin 27 provinsi mungkin agak kudet soal pemekaran provinsi ini. Saya, sih maklum aja.

Jadi, akhirnya saya pergi ke provinsi yang sering dikira adalah tempat kerja saya: Maluku. Mungkin bagi orang Jawa atau lainnya yang non-timur, akan beranggapan Maluku dan Maluku Utara atau bahkan Papua itu sama saja. For Your Information, ini sama kayak orang-orang timur sini menganggap Sunda, Jawa (tengah), Jawa (timur) dan Madura itu adalah sama, yaitu JAWA. Padahal bagi mereka yang tahu kondisinya jelas sangat berbeda. 

Satu perbedaan yang paling mencolok antara Maluku dan Maluku Utara bisa dirasakan dari logat dan bahasanya. Salah satu contohnya, kalau di Maluku Utata (kecuali Kepulauan Sula) pakainya "tarada" sementara di Maluku (dan Kepulauan Sula) pakainya "seng." 

Masih banyak lagi sebetulnya perbedaaan bahasa antara Maluku dan Maluku Utara, jadi meskipun saya sudah "lumayan" bisa bahasa Melayu Ternate pun jadi blank juga sewaktu di Ambon. Palingan kosakata Ambon yang saya kuasai itu dari modal sering dengerin lagu-lagu Mita Talahatu, diva Ambon yang heittss abis di seantero Maluku Utara itu, yang lagunya hampir selalu jadi playlist  angkot, bentor dan kapal-kapal di jalanan dan lautan Maluku Utara. Hanya saja, entah kenapa selama saya di Ambon malah gak pernah nemu lagu-lagu Mita Talahatu. 

Kesan pertama di Ambon: luas. Yup, Kota Ambon ini luas banget. Hampir seluruh pesisir Teluk Ambon sudah terurbanisasi. Mencari transportasi umum di Ambon pun mudah, karena sudah ada banyak angkot dengan trayek. Keluar dari bandara saya langsung menemukan angkot merah. Setelah memastikan memang benar si angkot lewat Passo, baru saya naik. Perjalanan dari bandara ke Passo memakan waktu sekitar 20 menit, sudah termasuk waktu ngetem nunggu penumpang di beberapa perempatan.

Di Passo, saya turun di kantor instansi tempat saya bekerja tapi yang cabang Maluku, tempat meet up dengan salah satu teman saya yang akhirnya jadi meet up sama semua teman-teman saya yang kerja di sana, sih. Hehehe. Jadi, nantinya selama di Ambon ini, saya akan menumpang tinggal di mess teman-teman saya ini. Saya merasa beruntung sekali, teman-teman di mess Ambon ini ramah dan baik sekali (uhuk), selama di Ambon saya diajakin jalan terus dong, hari pertama di Ambon saya diajakin nonton Warkop DKI Reborn lalu di hari terakhir setelah sholat Idul Adha diajakin ke taman monumen Christina Martha Tiahahu, tempat dimana bisa melihat pemandangan kota Ambon dari ketinggian.


Road Trip Ambon-Seram

Sebelumnya saya jelaskan dulu tujuan perjalanan saya kali ini. Pantai Ora, ada di kabupaten Maluku Tengah. Letaknya ada di sisi utara-tengah dari Pulau Seram. Sedangkan posisi start ada di Kota Ambon (Pulau Ambon), jadi untuk menuju ke Ora kita perlu melakukan perjalan darat dan laut. Penyeberangan dari Pulau Ambon ke Pulau Seram bisa dilalui dengan kapal cepat atau kapal ferry. Sedang perjalanan daratnya bisa dengan segala macam kendaraan darat, normalnya ya kalau gak motor ya mobil. Katanya sih belum ada yang eprnah pake forklift, mungkin Anda beminat mencobanya?

Total makan waktu 6 jam (kecepatan manusia normal yang masih mau hidup )


Secara saya ini kan backpacker gembel kan ya, jadi perjalanan menuju Ora ini pun pakai budget constraint. Untuk perjalanan darat kami pakai motor lalu menyeberang dengan kapal ferry.

Note. Jadwal kapal ferry di Maluku ini sangat tepat waktu, jadi sangat perlu memperhatikan waktu ketika berkendara selama perjalanan darat, jangan sampai jadwal berantakan gara-gara ketinggalan kapal ferry yang baru ada lagi setiap dua jam.

Rencana awal perjalanan kami ke Ora ini adalah bertiga, saya, Mima dan Fajra, tapi ternyata di hari-H Fajra-nya malah sakit. Tinggalah kami, dua ilalang dengan keinginan kuat untuk mengintip hidden paradise di Pulau Seram itu.

Start perjalanan kami dari Kota Ambon sekitar jam 6 pagi (atau setengah 7 pagi ya, saya agak lupa). Tantangan perjalanan sudah langsung menghadang kami: hujan mengguyur bahkan sejak 5 menit awal. Mental breakdown pasti. Naik motor di jalanan yang belum familiar dan dalam kondisi kehujanan rasa capeknya jadi dua kali lipat.

Sejam pertama road trip kami rasanya lamaaaaa sekali. Saya yang jadi driver pertama hanya berusaha fokus ke jalan. Rute Kota Ambon ke Pelabuhan Ferry sebetulnya cukup mudah, aspalnya sangat bagus, meski ada beberapa kali tanjakan dan turunan tapi masih didominasi jalanan rata.

Sampai di Pelabuhan Ferry, beli tiket untuk 2 penumpang dan 1 motor lalu antri di pintu masuk kendaraan. Beruntungnya lagi, kami jadi penumpang terakhir yang diperbolehkan ikut ferry jam 8 pagi itu.

Pantai di pelabuhan aja ijo bening begini

Suasana di dalam kapal ferry
Ini adalah pertama kalinya bagi saya naik kapal ferry dengan membawa kendaraan. Kalau cuma bawa diri sih sudah pernah. Ternyata sedikit menegangkan juga, soalnya was-was kalau gak dapat jatah muatan untuk kendaraan. Bisa gawat kalau sampai harus nunggu ferry 2 jam lagi, bisa-bisa sampai Ora sudah malam.

Motor sudah diparkir, tinggal cari bangku buat tidur duduk selama perjalanan di ferry.  

Lagi acting tidur wkwk

Antri mau keluar ferry

Setelah satu jam perjalanan, kapal ferry sampai juga di Pelabuhan Waipirit (awas jangan kepleset bacanya), pelabuhan ferry yang ada di Kabupaten SBB, singkatan dari Sori Baru Balas, eh Seram Bagian Barat. Di sini kami cari makan dulu, secara memang belum sarapan. Cari menu makan yang aman dan gampang, di salah satu tempat makan di pelabuhan kami pesan nasi goreng, masing-masing dua porsi, satu untuk sarapan satu lagi untuk makan siang sesampainya di Ora nanti (yang ternyata rencana meleset, jadinya malah buat makan sore).

Selain membawa bekal nasi goreng, kami juga beli pop mie dan beberapa potong roti manis dan roti pia. Kenapa? Karena ongkos makan di Ora itu sangat mahal sodara-sodara. Jadi, backpacker gembel ini perlu bawa bekal sebanyak-banyaknya (yang akhirnya malah banyak yang gak kemakan juga karena kenyang keindahan Ora males makan).

Seriusan, kami berdua betul-betul buta jalur Trans-Seram. Satu-satunya petunjuk jalan buat kami hanyalah ancer-ancer yang diberi tahu oleh temannya Fajra yang memang penempatan di Kabupaten Maluku Tengah (kalo gak salah) jadi sudah tahu betul jalur menuju Ora. Meski begitu setelah dilalui ternyata memang tidak terlalu sulit untuk menemukan Desa Saleman (tempat penyeberangan menuju Ora) karena memang jalur Trans-Seram ya hanya satu itu-itu saja, tinggal ikuti jalan aspalnya saja. Jumlah pertigaan yang harus belok pun bisa dihitung cuma tiga kali saja. Selebihnya ya belokan karena jalan tikungan.

Jadi bagaimana road trip Waipirit - Saleman? Akan saya gambarkan dengan dua pembagian. Pertama jalur Waipirit - TNS dan kedua adalah jalur TNS - Saleman. Jalur pertama didominasi jalanan yang rata dan berbelok-belok, sedangkan jalur kedua, jalannya naik-turun, berbelok-belok dan kanan-kirinya tebing dan jurang. Kalau menurut Fajra yang sudah pernah road-trip dengan rute yang sama, Waipirit - Saleman hanya memakan waktu 4 jam, tapi ternyata bagi saya dan Mima, butuh waktu 6 jam. Yup, kalau di Jawa, berangkat dari Jogja udah sampe Surabaya kan tuh. Jadi kalau ditotal seluruh perjalanan kami ini jadi 8 jam. Banyak yang kaget dan heran kok kami lama banget. Saya kira ya gak lambat-lambat amat kok kecepatan rata-rata kami di jalanan. Ini karena selama perjalanan kami diguyur hujan terus menerus. Jadi, maaf-maaf saja kalau kami gak bisa ngebut di tengah kondisi jalanan yang basah dan kurang maksimalnya penglihatan karena hujan, kami kan masih ingin hidup, menikah dan hidup happily ever after. *eh


Oh, iya di desa sebeluh Negeri Elkaputih, kami juga sempet kebanan. Ban bocor ngelindes paku. Untungnya gak jauh dari TKP bocor bengkel tambal ban, cuma orangnya lagi gak bisa nambal ban, bisanya ganti ban dalam. Yaudahlah ya, yang penting bisa jalan lagi.

Sambil nunggu ganti ban, ngelurusin pingang dulu
Seperti sensasi perjalanan lainnya, berangkat itu terasa lebih lama daripada pas pulangnya. Rasa lelah dan frustasi karena gak sampe-sampe jelas ada. Belum lagi di jalur kedua, TNS - Saleman harus melewati perbukitan yang tinggi. Sudah kehujanan masih ditambah serangan suhu dingin pegunungan. Sampai menggigil, lho saya. Perjalanan menuju Ora ini benar-benar perjuangan lahir dan batin, deh.

Penampakan rider abal-abal
Akhirnya, setelah melewati perjalanan puanjaanggg, kami benar-benar sampai di Desa Saleman sekitar jam 4 sore, dengan kondisi lelah, mengantuk dan kedinginan. Tapi begitu melihat pemandangan dari pelabuhan kecil di desa ini rasanya semua capek hilang.

Enggak ding, enak banget klo bisa gitu. Masih capek sih, tapi begitu lihat pemandangan tebing karst yang gak lazim berdampingan dengan lautan biru-kehijauan yang bening banget itu rasanya breath-taking banget.


Breath-taking scenery di Pelabuhan Saleman




Di pelabuhan sudah ada banyak motoris yang menunggu giliran untuk mengantar ke Ora. Setelah deal harga dan paket yang kami mau, si motoris memarkirkan motor kami (sepertinya) di rumahnya. Sedangkan kami menunggu dia siap-siap sambil pesan teh panas.

Ngilangin mengalihkan capek dengan foto-foto

Akhirnya aku menemukan kehangatan pada segelas teh panas

yang jaket merah jangan sampe lolos :p
Setelah kapal siap, kami diantar Pak Munir, nama motoris yang kami sewa, menuju resort (jika berminat ke Ora dan butuh pesan motoris silahkan hubungi saja, saya ada nomer hapenya). Yang ini memang melanggar prinsip low budget kami, bukannya cari homestay  di Desa Saleman, kami malah berencana menginap satu malam di resort, maksudnya sih bisa bisa langsung nyebur kalau mau snorkling di depan resort Ora. Walaupun kenyataannya pas sampai resort masih juga hujan. Tapi ya udah lah yaaw. Masih lumayan kok bisa menikmati malam di Ora Beach Eco Resort.


Di sini, kami menginap di kamar darat, yang harganya lebih murah (teteup). Hehehe.




Begitu sudah check-in dan dapat kamar, akhirnya saya bisa unpacking barang bawaan saya. Selama perjalanan saya sudah kuatir kalau-kalau tas saya kerembesan air hujan, soalnya baju-baju saya gak di-double plastik. Tas juga cuma mengandalkan rain cover. Daaaan, ternyata kekuatiran saya benar terjadi. Baju-baju saya basah semua. Untungnya isi yang di bagian atas gak basah, properti kamera dan sarung gak ikut kerembesan air hujan.

Barangkali cuma saya satu-satunya pengujung di Ora yang begini -_-

Penampakan rumah darat tanpa siluman sarung ungu

Jam sunset di Ora masih saja diselimuti mendung dan guyuran gerimis. Tapi seriusan, Ora itu indah mau adanya apa (bukan apa adanya lagi), kondisi hujan gerimis pun, Ora tetap memukau. Air lautnya tetap jernih, bening, dan bergradasi hijau ke biru yang cakep banget. Gak kebayang, deh cakepnya kayak apa Ora kalau pas cuaca panas.


Ora waktu gerimis
Jalan-jalan sore di area rumah laut

ORA sah nggaya, Non!

Area rumah laut

 Nah, segini dulu catper untuk hari pertama perjalanan ke Ora. Masih ada satu hari perjalanan lagi. dilanjut besok yah. Stay tune yah manteman.. :p

0 comments :

Post a Comment