Maksudnya, part 2 dari perjalanan hari ketiga, gitu sih. Hehehe. Sebenernya mau bikin postingan ini dari kemaren, tapi pas mau ngenet di kantor, elah kok listriknya mati, lama banget lagi, yaudah gak jadi, deh. Sesuai dugaan postingan yang tertunda biasanya malah makin molor. Trus makin males nulis bahannya. Hina banget ya, blogger anget-anget tai ayam ini.
Well, setelah puas mandi sama ubur-ubur di Kakaban dan gegemesan sama tukik di Sangalaki, akhirnya sampailah perjalanan kami di Pulau Derawan. Berbeda dengan pulau-pulau lainnya, di Derawan ini ada banyak dermaga kecil tempat sandar kapal. Kami sandar di dermaga paling dekat dengan rumah Mas Elka. Beliau dengan baik hatinya mempersilahkan kami untuk istirahat sejenak di rumahnya.
Hal pertama yang menjadi perhatian ketika menginjakkan kaki di Derawan ini adalah: penginapan. Yap, di sini ada banyak sekali penginapan, ada yang berupa rumah papan yang menjorok di atas laut, ada juga yang di sisi dalam perkampungan. Rate penginapan di sini pun bervariasi, tentu tergantung fasilitas yang ditawarkan. Ada yang biasa saja, ada juga yang luar biasa, seperti satu resort di Pulau Derawan yang bahkan melarang non-tamu untuk berenang/menyelam di wilayahnya. Agak lucu sih sebetulnya, selama laut tidak dipagari bagaimana mau melarang orang untuk berenang dimana.
Agenda kami di Pulau Derawan hanya satu saja: nyebur! Tapi sebelum itu, kami isi perut dulu. Selain akomodasi, rumah makan di sini juga sudah ada banyak. Cuma ya itu, pelayanannya luamaaaak. Sama kayak pas di Maratua. Mungkin penjualnya pergi nangkap ikan di laut dulu kali.
Sebelah kiri - dilarang, sebelah kanan - bebas |
Siang hari di Derawan itu sangat sepi. Sepi dari aktivitas turis-turis. Bukan, maksudnya bukan lagi sepi pengunjung, tapi sepi dari geliat pengunjung. Kebanyak turis yang ke Derawan menghabiskan waktu siang hari kalau gak island-hopping di Maratua-Kakaban-Sangalaki, biasanya sedang diving di perairan dalam. Sudah banyak yang tahu kan kalau Derawan ini spot diving yang hits banget, makanya gak heran di sini ada banyak sekali basecamp yang menyediakan fasilitas untuk diving. Berhubung diantara kami bertiga belum ada yang pernah belajar diving, dan sewa alat-alatnya itu gak murah, dan daripada nanti malah kesorean pulang ke Tanjung Batu, dan seribu alasan lainnya yang lebih mengarahkan kami untuk sebaiknya di Derawan kami cecemplungan saja di perairan yang cethek.
Sempat ketemu penyu yang tempurungnya pecah :( |
Habis makan siang, kami lanjut jalan ke spot yang katanya bagus untuk snorkling, yaitu di sekitaran resort. Saya lupa nama resort-nya, pokoknya resort mewah gitu, di sisi sebelah kanan non-tamu boleh bebas masuk, sedang yang sisi kiri dilarang untuk umum. Masuk di kawasan resort ini sudah mulai tercium hawa-hawa diver, banyak yang sepertinya baru saja naik setelah menyelam.
Ikan-ikan yang terjebak arus |
Dari atas aja udah ngegemesin gini terumbu karangnya |
Sebenernya kurang puas lihat terumbu karangnya. Sepertinya memang terumbu karang terbaik di Derawan harus dilihat dengan cara diving di perairan yang lebih dalam. Belum lagi di sekitaran tempat kami snorkling ini sering sekali ada kapal speed lalu lalang, bikin ikan-ikan pada kabur. Begitu badan udah gak bisa dibohongi lagi capeknya, akhirnya kami akhiri acara cecemplungan kami di Derawan. Balik ke rumah Mas Elka, mandi, beres-beres, langsung lanjut balik ke Tanjung Batu.
Bye Derawan!! |
Sampailah kami pada akhir perjalanan di Derawan ini. Kembali ke Pelabuhan Tanjung Batu dalam kondisi yang sangat lelah, selama perjalanan pun suasana jadi hanyut dalam sendu sore. Dua hari di Derawan dan sekitarnya ini benar-benar sempurna bagi kami, sepertinya Tuhan memang sengaja membuat segalanya mudah bagi kami.
Dikasih ending sunset :) |
Akhir perjalanan kami yang sesungguhnya baru dimulai justru ketika kami turun dari speed di Pelabuhan Tanjung Batu.
Bahagia banget, Non? -.-" |
Badan udah loyo, eh masih harus naik motor 3 jam lagi. Emmm, saya sih tinggal bonceng. Duh, maaf ya, Lophe yang udah boncengin saya, udah bawa badan aja berat masih ditambah bawaan baju basah di tas, gilak pinggang rasanya mau copot. Memang sih cuma bonceng, tapi kalau jalannya keseringan nanjak yang sama aja, mesti nahan bawaan tas juga. Tapi untung di setengah perjalanan Lophe baik hati mau tukeran tas, hehehe. Emmm, dan di setengah perjalanan sisanya ini juga saya makin gak tahu diri. Bukannya jadi co-driver yang baik, malah molor. Iya, maafkan saya yang ketiduran waktu di bonceng. Makin liar aja ya, kemampuan khusus saya ini, gak cuma bisa molor di atas speed yang lagi ajeb-ajeb dihempas ombak, bahkan di atas motor yang lagi jalan di jalur yang naik-turunnya asoy itu juga saya bisa molor. Parah emang saya orangnya. -_-
Bonus sunset on the road |
Selama perjalanan darat Tanjung Batu ke Tanjung Redeb ini akhirnya saya menjadi saksi dengan mata kepala saya sendiri tentang situasi memilukan di bumi Borneo. Selain sisi keindahan alamnya yang menakjubkan, ada sisi kelam Borneo yang sering dilupakan ketika tidak menjadi headline, pembakaran hutan. Selama ini saya cuma tahu dari portal berita, yang ternyata baru masuk berita seperti tahun lalu itu baru ketika terjadi kebakaran yang benar-benar parah, sedangkan kebakaran hutan "kecil-kecilan" sendiri sudah menjadi hal lumrah di sini karena menjadi satu-satunya cara termurah untuk membuka lahan.
Pembakaran hutan |
Duh, kok ending-nya jadi anti-klimaks gini. -.-"
Sebenernya udah jadi anti-klimaks sejak saya ketiduran di motor, sih. Bahkan sampai di Tanjung Redep, turun makan saya masih bisa lanjut molor. Zuper zekali yach.
Langsung saja skip ke credit-nya, sebagai manusia yang selayaknya tahu cara berterimakasih, selama perjalanan saya ke Derawan-Maratua-Kakaban-Sangalaki ini tentu tidak akan terlaksana dengan sukses tanpa jerih payah dua kawan saya ini, Ipan dan Lophe. Kalian adalah tuan rumah yang luar biasa. Semoga rezeki kalian makin lancar, segera didekatkan dengan jodoh kalian, dan bahagia dunia-akhirat. Amiiin.
Haaahh! Selamat tinggal Derawan dan kawan-kawan (Maratua, Kakaban, Sangalaki). Mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Tapi terimakasih, dua hari itu saya sudah dijinkan melihat yang terbaik dari kalian. Saya tidak akan membanding-bandingkan dengan tempat lain, kalau kata Lophe, hanya akan menyiksa diri sendiri. Derawan, Maratua, Kakaban, Sangalaki, tetaplah menjadi indah dengan cara kalian.
Terimakasih banyak bagi yang masih setia mengikuti catatan perjalanan saya sampai sini. Sebelumnya, saya tidak pernah berpikir akan sampai ke Pulau Derawan. Siapa sangka akhirnya hari itu datang juga. Sejak lama saya suka mengikuti cerita traveler-traveler, bagaimana mereka menunjukkan tentang keindahan dan keelokan Indonesia, seperti Derawan, Togean, Wakatobi, Pulau Komodo sampai Raja Ampat. Dulu saya pikir, cukup lihat di TV saja atau lihat di blog orang aja, karena sepertinya tidak mungkin saya bisa kesampaian lihat sendiri. Tapi sepertinya kekaguman saya setiap ditunjukkan foto-foto tentang alam Indonesia lama kelamaan menggunung juga. SAYA HARUS MEMBUKTIKAN SENDIRI.
Saat ini saya memang sedang tinggal di Jailolo, masih termasuk kawasan Indonesia timur. Ketika tahu saya pergi ke Derawan, beberapa ada yang heran dengan saya, bertanya, "Di tempatmu (Jailolo) kan pantai dan bawah lautnya lebih bagus, ngapain jauh-jauh ke Derawan?" Saya paham betul maksud pertanyaan ini, yang bisa saya jawab dengan, "Saya sendiri tidak bisa memastikan betul-betul mana yang lebih bagus, tapi memangnya kenapa kalau saya pergi jauh-jauh sampai Derawan?" Pergi jauh dari rumah saja saya bisa. *eh
Better to see something once than to hear about it thousand times.
Dan, semoga mimpi-mimpi ke tempat-tempat indah lainnya pun bisa terwujud. :)Upss, masih ada lanjutan dari trip nekat episode Berau ini, lho. Hihiihi...
0 comments :
Post a Comment