Lagi-lagi tuntutan profesi membuat saya menjelajahi negeri. Halah, opo sih. Padahal masih di sini-sini aja. Masih di Halmahera Selatan. Tapiiiii.. dasar memang kabupaten tempat tugas saya yang satu ini lain dari yang lain. Setidaknya jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara. Kabupaten yang mempunyai 30 kecamatan ini wilayahnya menyebar mencar-mencar kesana kemari, dan kali ini saya ditugaskan turun lapangan ke Pulau Makian. Satu pulau berbentuk lingkaran yang letaknya lebih dekat dari Ternate daripada Bacan, yang merupakan pusat pemerintahan daerah Kabupaten Halmahera Selatan.
Rute Perjalanan |
Untuk menuju Pulau Makian dari Bacan, saya harus menumpang kapal satu malam ke Ternate dulu. Baru keesokan harinya, begitu sampai di Ternate langsung saya cus cari kapal speed reguler yang membawa penumpang ke Pulau Makian. Ribet dan capek.
Siluet hamparan Pulau Halmahera |
Sunrise dari Ternate |
Siluet Gunung Tidore |
Perjalanan menuju Pulau Makian dari Ternate menempuh waktu kurang lebih dua jam. Selama perjalanan saya tidur menikmati panorama pegunungan di Maluku Utara ini. Di sebelah timur ada Gunung Tidore, sebelah barat Gunung Maitara, lalu ketika sudah lebih ke selatan lagi akan mulai nampak pegunungan di Pulau Halmahera. Sebelum sampai di Pulau Makian, kurang lebih setengah jam sebelumnya, kapal speed akan singgah dulu di Pulau Moti. Sedikit heran ketika tahu kalau pulau ini masih masuk ke dalam wilayah administrasi Kota Ternate, padahal jelas-jelas wilayahnya sudah melewati Kota Tidore. Tapi kemudian saya maklum saja, karena entah kenapa menurut saya selalu ada saja hal-hal di sini yang lebih suka dipersulit keadaannya.
Kondisi jalan di Makian |
Sampai di Pulau Makian, kapal speed sandar di sebuah pelabuhan kecil. Di ujung jalan sudah banyak ojek yang menawarkan diri mengantar penumpang. Ya, hampir sama seperti di Ternate ataupun Bacan, di Makian ini pun alat transportasi umum andalannya adalah ojek.
Untuk menuju desa tempat tugas, saya masih harus menempuh perjalanan darat. Dengan membonceng motor, saya dan mitra yang nantinya akan mendampingi saya selama di Makian, membelah hutan Makian. Tiap-tiap desa di Pulau Makian ini terhubung dengan jalan, tapi masih ada juga sih beberapa yang masih mengharuskan menyeberang dengan kapal atau katinthing. Khusus untuk Makian bagian barat, atau masyarakat di sana lebih sering menyebutnya Makian luar, kondisi jalannya lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan Makian dalam yang sudah banyak jalanannya yang diaspal. Di Makian dalam juga hampir semua jalan yang terpisahkan sungai sudah dilengkapi dengan jembatan penghubung, sedangkan di Makian luar masih banyak yang belum.
Tadinya saya pikir perjalanan saya di Makian ini akan mudah, tapi ternyata saya salah besar. Pulau Makian ini kontur jalannya naik-turun dan curam. Sering kali selama perjalanan membonceng motor terpaksa saya diturunkan. Kalau sudah ketemu tanjakan mau gak mau harus turun dari motor terus jalan kaki sampai ujung tanjakan. Kalau gak begini kasihan, gak kuat motornya. Udah gitu motornya matik lagi, duh duh, orang di sini tuh lucu, udah tau kondisi medan yang banyak tanjakan gini kok ya beli motornya matik. Opo ra marakke semplok tanganne ne ngegas.
Saya ditugaskan di Makian ini selama seminggu, dan selama di sini untuk pertama kalinya saya melihat langsung yang namanya kenari. Buah kenari ya, atau kalau bule bilang walnut. Warga di sini punya tiga cara untuk menyantap buah kenari; dimakan mentah, disangrai, dan diolah menjadi kue halua. Halua itu semacam enting-enting kalau di Jawa.
Kebetulan kehadiran saya di Makian ini bertepatan dengan musim panen buah kenari, jadi setiap kali saya mengunjungi rumah warga pasti disuguhi buah kenari. Ada yang disajikan metah, ada juga yang sudah disangrai. Dua-duanya sama-sama enyaaak. Hehehe.
Kenari sebelum dikupas |
Kenari setelah dikupas |
Selain sedang musim buah kenari, di Makian juga sedang banyak yang lagi panen pala.
Pala |
Well, tidak banyak yang bisa saya pamerkan selama di Makian. Karena pagi sampai sore saya memang harus kerja ya. Hehe. Tapi hampir setiap sore yang saya habiskan di Makian tidak pernah saya lewatkan untuk mengantarkan matahari tenggelam. Khususnya selama di Makian luar yang hampir semua sebelah barat desanya berbatasan dengan laut, sunset di sini tidak pernah mengecewakan. Foto-foto sunset di sini saya potret dari beberapa desa yang berbeda.
Setelah beberapa hari di Makian luar, saatnya pindah ke Makian dalam. Karena jalur terdekat tidak bisa ditempuh dengan jalan darat mau tidak mau untuk menuju ke sana saya harus mencarter kapal motor. Sedihnya, di kapal yang saya sewa gak ada peneduhnya. Jadi yah, harus siap menahan panas langsung dari matahari tanpa tedeng aling-aling.
Kapal motor yang saya carter selama di Makian |
Coral raksasa di dekat tempat sandar kapal |
Selama di Makian dalam, kondisinya berkebalikan dengan di Makian luar. Kalau di Makian luar begitu mudah mendapati lembayung senja, maka di Makian dalam sambutan matahari paginya yang mengagumkan. Tapi memang benar kata orang, sunrise is overrated dan pada dasarnya saya tukang tidur, jadi cuma sekali saja saya motret sunrise, itu pun waktu di pelabuhan pas mau naik kapal speed ke Ternate.
Sunset dari Makian dalam, motretnya mesti naik kapal, difoto dari laut |
Sunrise Makian dalam |
Sunrise Makian dalam |
Sekembalinya dari tugas di Makian, saya langsung tepar. Capek secapek-capeknya. Kalau udah gitu terus lihat-lihat lagi foto-foto selama disana pasti ilang capeknya, gak ding tetep capek jadi tersenyum-senyum sendiri. Satu lagi pengalaman bertambah. Satu lagi cerita untuk anak-cucu telah tercipta. Dan satu lagi jejak telah saya tinggalkan di persinggahan saya kali ini.
Terimakasih!
Amazing!
ReplyDeleteBaguus...tetap dengan gaya khas bercerita ala Tinon
ReplyDeleteMakasih mas, saya masih harus banyak belajar ini, hehe
DeleteMy job my adventure. .
ReplyDeleteYoiihh
DeletePetualangan dan pengabdian ...dalam genggaman...
ReplyDelete