Siapa sih yang langsung galau kalau liat tanggal merah? Siapa sih yang suka waktu libur? Siapa sih yang lebih suka pergi jalan-jalan waktu liburan daripada cuma nonton TV di kosan? Jawabanannya adalah SAYA! Hehehe, jadi ceritanya waktu lagi gemes ngeliatin kalender dan tau klo ada hari libur langsung deh panik, bingung mau kelayapan kemana. Setelah sowan ke Mbah Google tanya-tanya destinasi yang pas akhirnya menjuruslah tujuan saya ke kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Yup, gak salah lagi dan memang sudah saya tulis di judul postingan ini, Dataran Tinggi Dieng.
Rombongan saya kali ini semuanya perempuan, alasan utamanya bukan karena perjalanan kali ini tidak dalam rangga treking gunung, tapi lebih disebabkan pertimbangan sewa kamar penginapan. Rencananya kami berangkat dari Jakarta tanggal 5 Juni 2013 sore hari. Paginya saya baru memesan tiket bis via telepon. Beberapa brand bis jurusan Wonosobo yang bisa dipilih ada Malino Putra, Sinar Jaya dan Pahala Kencana. Pertama-tama saya menghubungi Malino Putra tapi sayangnya tiket sudah sold out, yah saya tidak kaget karena memang besoknya tanggal merah. Selanjutnya saya telepon beberapa agen/pool Sinar Jaya di Jakarta yang akhirnya dapet tiket juga di agen yang di Pemuda - Rawamangun. Kata mas-masnya kami harus sudah datang di kantor agen tersebut paling lambat jam 17.00.
Jam 15.30 kami berangkat dari kantor naik transjakarta. Untunglah jalan belum terlalu macet banget, cuma transit bus-nya aja yang bikin lama. Turun di halte Velodrum terus jalan balik sekitar 5 menit ato bisa juga turun di halte sebelum Rabbani - Rawamangun terus jalan dikit, sampe deh di kantor agen bus Sinar Jaya. Selesai mengurus pembayaran tiket, tinggal menunggu bis-nya datang. Lumayan lama juga nunggunya, dari jam 16.30 kami sampai di kantor agen, baru benar-benar berangkat jam 17.45. Yaaa, sebenernya gak apa-apa sih nunggu daripada telat trus ketinggalan bisnya.
Hari-1: Kompleks Candi Arjuna - Kawah Sikidang & Telaga Warna
Kamis, 6 Juni 2013 bis Sinar Jaya yang kami tumpangi sampai di Wonosobo sekitar pukul 6.30 WIB. Bangku bis sudah banyak yang kosong karena memang banyak penumpang yang sudah turun di daerah Purwokerto atau Banjarnegara. Sebelumnya saya sudah bilang ke mas kernet (eh, bener gak sih sebutannya) kalau saya mau ke dieng dan ketika saatnya turun tiba si masnya langsung ngasih tau deh.
Kami turun di semacam taman dengan tugu peringatan. Di situ sudah banyak tukang ojek yang menunggu dan menawarkan untuk mengantar langsung ke Dieng. Ah, tapi jelaslah klo ngojek nanti ongkosnya jadi lebih mahal. Ngomong-ngomong kalau diantara pembaca yang budiman ada yang ingin ke Dieng, bilang ke kernetnya turun di Plaza atau bisa juga di Pasar Induk Wonosobo, maksudnya sama aja karena letak Plaza dan Pasar Induk ini berhadap-hadapan.
Pagi itu kami mandi di toilet umum yang ada di taman yang ada tugu peringatannya ini, sebut saja taman aqua ya, soalnya di situ ada water fountain yang ada tulisannya kalau itu dibikin sama aqua. Cuma ironisnya gak ada air yang mancur. Di toilet umum taman aqua itu saya sempet tanya-tanya sama mbak yang jaga toilet tentang cara menuju ke Dieng yang dijawab dengan baik hati sama mbaknya.
|
Taman Aqua |
|
Toiletnya nyempil di bagian belakang taman Aqua |
Selesai mandi kami lanjut jalan ke arah alun-alun. Sesuai informasi dari mbak penjaga toilet, untuk menuju Dieng bisa naik bis jurusan Batur tapi harus jalan dulu sampe ke jalan yang jadi jalur bis tersebut. Ada dua jalan menuju jalur bis jurusan Batur, lewat alun-alun atau yang satunya saya lupa. Kami sih memutuskan lewat alun-alun saja biar bisa sekalian beli sarapan, soalnya masih menurut informasi mbak penjaga toilet, di alun-alun Wonosobo banyak yang jualan makanan. Dari taman aqua kami jalan kaki menuju alun-alun Wonosobo memakan waktu sekitar 8-10 menit. Di sepanjang jalan ini ada Pasar Induk Wonosobo dan Plaza Raya. Bagi yang lupa bawa uang tunai, di deket alun-alun yang sekaligus ujung dari jalan yang dilewati tadi ada bank BRI, jadi bisa tarik tunai di ATM-nya.
|
Pasar Induk Wonosobo, arah ke kanan menuju Alun-alun Wonosobo |
|
Alun-alun Wonosobo cap dua gunung |
Sampai di alun-alun Wonosobo, perhatina saya langsung terpukau dengan kemegahan gunung kembar di Jawa Tengah, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Keduanya menjulang gagah lengkap dengan kilauan sinar matahari pagi. Pemandangan ini menjadi keberuntungan setiap orang yang sedang menikmati pagi di alun-alun Wonosobo. Di tempat ini saya tidak menemukan makanan khas daerah yang ada malah bubur ayam Bandung. Mayoritas makanan di alun-alun Wonosobo paling soto, bakso, lontong opor atau nasi rames. Yaa sudah akhirnya sarapan lontong opor, deh. Mungkin karena memang sudah lapar banget, jadi apapun yang masuk perut rasanya jadi enak apalagi ditambah segelas teh panas. Ah, nikmatnya.
|
Lontong Opor |
|
Anak muda jaman sekarang (-_-") |
Setelah sarapan di lesehan pinggir alun-alun Wonosobo kemudian bayar di mbak-mbak yang jualan, kembali kami lanjutkan perjalanan. Agar bisa naik bis jurusan Batur, dari alun-alun harus jalan kaki sekitar 5 menit ke arah barat. Jalannya lumayan sepi, melewati beberapa kantor pemerintah, termasuk salah satunya balai nikah kecamatan Wonosobo. Sampai di ujung jalan yang berupa pertigaan, kami tinggal menunggu bis jurusan Batur di situ. Bagi yang sudah pernah naik gunung Merbabu/Merapi via ngeteng, wujud bis jurusan Batur ini mirip sama bis jurusan Cepogo.
|
Penampakan dalam bis jurusan Batur |
Pada keadaan normal seharusnya bis ini langsung menuju desa yang bernama Batur, makanya namanya jurusan Batur. Tapi karena di daerah Kejajar tepatnya di jalan Kejajar-Dieng sedang ada perbaikan jalan makanya terpaksa harus dua kali naik bis. Bis-nya dengan jurusannya yang sama, hanya saja yang dari Wonosobo hanya berhenti di Kejajar, lalu penumpang bisa naik ojek atau ganti bis setelah jalan kaki sebentar melewati area perbaikan jalan, gak sampe 5 menit. Kalau mau ojek ditawar aja, sempet ditawarin 10 ribu, tapi kami memilih untuk naik bis dengan membayar 5 ribu. Walaupun akhirnya agak nyesel juga, soalnya naik bis Kejajar-Dieng ini ngeri banget, selain karena medannya yang menanjak terus eh penumpangnya bejubel sesak banget.
|
Dieng Plateau Homestay ini bersebelahan persis dengan Penginapan Bu Jono |
|
Dieng Plateau Homestay dari depan, baru sempet ambil gambar waktu malem |
Sampai di Dieng kami turun di pertigaan Bu Jono. Begitu turun bis saya langsung melihat papan reklame homestay yang akan kami tuju. Ya, sebelumnya memang saya sudah menghubungi Dieng Plateau Homestay untuk bertanya-tanya kondisi di Dieng sekaligus memesan kamar. Soalnya saya takut kehabisan kamar penginapan berhubung bertepatan dengan libur weekend. Tapi kekhawatiran saya ini gak ada artinya, soalnya ternyata di homestay yang menyediakan 8 kamar ini baru terisi 2 kamar, itu pun semuanya wisatawan dari luar negeri. Dieng Plateau Homestay ini letaknya bersebelahan persis dengan Penginapan Bu Jono yang katanya--dan kayaknya memang iya--terkenal. Tapi ya itu tarif di Bu Jono memang lebih mahal.
|
Penampakan dalam kamar |
|
Penampakan dalam kamar |
Selesai memilih kamar, yang keputusan jatuh pada kamar dengan kasur dobel, langsung
check-in yang sekaligus melunasi biaya menginap untuk satu hari satu malam sambil ngobrol-ngrobrol sama mas-mas penjaga
homestay-nya tentang rute wisata di Dieng. Agak disayangkan waktu itu hujan, jadi kami menunggu hujan agak mereda sambil persiapan untuk jalan-jalan di kompleks Candi Arjuna.
|
Gambar Peta Dataran Tinggi Dieng yang dipajang di homestay |
Akhirnya sekitar jam 11 siang, meskipun cuaca masih mendung dan hujan gerimis, dengan bermodal payung kami keluar hotel, tujuan pertama adalah Kompleks Candi Arjuna. Dari
homestay jalan kaki ke arah utara, kira-kira 5-8 menit sampai di pertigaan yang ada Indomaret di pinggir jalannya. Jelas saja, orang Jakarta ketemu Indomaret di daerah itu ibarat musafir nemu mata air,
because you can find buy everything you need in there. Buktinya selain beli minuman dan makanan salah satu dari kami sampe ada yang beli sisir rambut. Haha.. beli sisir aja sampe jauh-jauh sampe Dieng. (-_-")
|
Sayang banget cuacanya lagi galau |
Selanjutnya untuk menuju Komplek Candi Arjuna dari Indomaret yang tadi bisa jalan kaki. Enggak jauh-jauh amat kok, paling cuma 10-15 menit. Sambil menikmati pemandangan Dieng, capeknya jadi gak kerasa, sekitar jam 11.40 kami sudah sampai di pintu masuk Kompleks Candi Arjuna. Awalnya sempet ragu-ragu karena melihat lokasinya yang sepi banget, tapi setelah tanya ke petugas ternyata benar. Mungkin karena memang lagi hujan kali ya, jadi sepi pengunjung.
Untuk bisa masuk ke Kompleks Candi Arjuna ini, setiap pengunjung diharuskan membayar karcis masuk seharga Rp 10.000,-. Biaya karcis ini sudah sekaligus untuk masuk area Kawah Sikidang. Atau bisa juga sebaliknya, beli karcis di pintu masuk Kawah Sikidang bisa sekaligus untuk masuk ke Komplek Candi Arjuna. Sebetulnya ada juga sistem karcis gabungan seharga Rp 20.000,- untuk masuk semua objek wisata di area Dieng 1 (Dieng bagian selatan) yang selain komplek Candi Arjuna dan Kawah Sikidang juga termasuk Telaga Warna. Tapi entah apa pertimbangan penentuan harga ini soalnya kalau pakai sistem ini jadinya malah lebih mahal.
|
Di pintu masuk Kompleks Candi Arjuna juga terpajang peta kawasan wisata |
Begitu melewati pintu masuk, pengunjung akan disambut dengan tawaran-tawaran dari penjaja toko-toko souvenir dan makanan khas di sana, dan tergiurlah kami untuk jajan kentang goreng. Jadinya sambil jalan keliling kompleks candi mulut tak berhenti mengunyah. Hmmm, memang Dieng ini surganya kentang.
Btw baru di Dieng ini lho saya tahu wujud tanaman kentang. Bentuk daunnya agal mirip sama tomat. Sayang saya lupa mengambil gambarnya.
Mulai memasuki komplek Candi Arjuna, situs pertama yang terlihat adalah Dharmasala. Situs yang berupa pendopo yang panjang ke samping. Di bagian belakangnya terdapat bebatuan candi yang tersebar dengan ukuran sedang-kecil.
|
Dharmasala |
Dari situs Dharmasala kami mengukiti jalan setapak menuju situs Candi Arjuna. Hujan gerimis tidak menjadi hambatan untuk bisa menikmati keelokan situs peninggalan nenek moyang ini. Malahan kabut tipis yang menyelimuti dari kejauhan justru menambah kesan nostagia. Saat itu ada beberapa kelompok pengunjung lain, yang membuat kami harus bergantian untuk bisa berfoto dengan latar belakang candi tanpa harus kebocoran ada penampakan pengunjung lain di
backgound-nya. Ini masih mending karena pengunjung waktu itu bisa dibilang sepi.
|
Prasasti Peresmian |
|
Kompleks Candi Arjuna |
|
Candi Arjuna |
|
Candi Srikandi |
|
Candi Puntadewa |
|
Candi Sembadra |
|
Candi Sembadra dan Stupanya |
Setelah puas menikmati situs candi Arjuna, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti jalan setapak. Di persimbapangan jalan setapak ada papan petunjuk jalan yang menunjukkan bahwa belok ke kiri akan menuju Telaga Balaikambang. Bermaksud untuk tidak melewatkan satu pun objek wisata di Dieng, kami tergoda untuk ke sana. Tapi setelah berjalan menyususri jalan setapak sampai habis pavingnya kami tidak kunjung menemukan yang namanya Telaga Balaikambang itu. Akhirnya kami berbelok mengikuti paving yang menuju jalan keluar kompleks Candi Arjuna.
Di pintu keluar kompleks Candi Arjuna, kami disambut dengan adanya satu situs candi, namanya Candi Gatotkaca. Di sekitar sini ada juga Museum Kailasa, yang di dalamnya menyimpan berbagai koleksi peninggalan sejarah yang dulu ada di Dieng ini. Selain itu, kalau pengunjung berkenan, petugas bisa memutarkan film dokumenter tentang sejarah dan legenda tentang Dataran Tinggi Dieng.
|
Candi Gatotkaca |
Waktu itu kami sampai di Meseum Kailasa sekitar jam 1-an siang. Kebetulan sekali di dekat kantor Museum Kailasa ini ada toilet dan mushalla jadi kami langsug sholat saja dulu, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke objek wisata lainnya di Dieng.
|
Museum Kailasa |
Setelah selesai sholat, kami ditawari untuk masuk ke museum oleh bapak petugas yang berjaga. Dengan membayar karcis masuk sebesar Rp 5.000,- kami masuk ke museum yang baru tahun 2008 yang lalu diresmikan oleh Pak Jero Wacik yang waktu itu masih menjabat sebagai menteri kebudayaan dan pariwisata. Selain melihat-lihat koleksi museum kami di museum ini juga ada pemutaran film dokumenter tentang Dieng Plateau.
|
Fragmen Ratna |
|
Fragmen Kemuncak |
|
Fragmen Kemuncak |
|
Lingga Yoni |
|
Arca Penjaga Pintu |
|
Fragmen Pintu Candi |
|
Batu Tungku |
|
Yang ini bukan koleksi museum, lho :p |
|
Tulisannya Pak Jero Wacik |
Pukul 13.15 kami sudah selesai berkeliling museum Kailasa. Setelah kurang-lebih 15 menit foto-foto di taman museum Kailasa yang penuh dengan bunga pancawarna, kami melanjutkan perjalanan menuju Kawah Sikidang. Di depan museum sudah banyak tukang ojek yang menawarkan jasa mengantarkan sampai Kawah Sikidang, tapi lagi-lagi kami memilih untuk jalan kaki. Dengan panorama indah sepanjang perjalanan di dataran tinggi Dieng, jalan kaki pun jadi gak berasa capeknya, kok.
Dalam perjalanan kami akhirnya menemukan Telaga Balaikambang yang sebelumnya sempat ingin kami lihat. Ternyata memang jalan pavingnya terputus.
|
Telaga Balaikambang |
|
Kompleks Candi Arjuna dilihat dari Taman Museum Kailasa |
Setelah kurang lebih 30 menit berjalan sampailah kami di Kawah Sikidang dengan kondisi lapar setengah mati, hehehe.. Sengaja kami tidak makan siang di warung depan museum Kailasa dengan maksud mau makan mie ongklok di Kawah Sikidang, eh ternyata malah yang jual mie ongklok sudah pulang. Ya sudah akhirnya makan Indomie, deh.
Di area parki kawah Sikidang ini, selain ada warung makan dan souvenir juga ada banyak los penjual sayuran. Jujur sebenarnya saya ngiler pengen belanja sayuran mentah di sini. Sayurannya masih segar-bugar dan yang pasti lebih murah daripada belanja di carrefour. Meski begitu saya urungkan niat itu, karena pasti nanti repot bawanya ke Jakarta.
Kami tidak berlama-lama di Kawah Sikidang ini, karena teman-teman saya sudah ketakutan melihat gumpalan-gumpalan gas yang keluar dari kawah Sikidang. Padahal saya malah terkagum-kagum bisa melihat secara dekat wujud dari kawah Sikidang ini. Sebuah kolam sangat besar yang berisikan lahar panas yang lebih terlihat seperti air yang mendidih dengan gumpalan gas yang keluar dari dalamnya.
|
Area parkiran di Kawah Sikidang |
|
Caution! |
|
Kawah Sikidang |
Dari Kawah Sikidang kami melanjutkan jalan kaki menuju Telaga Warna. Sebenarnya di dalam perjalanan meuju Telaga Warna ada objek wisata candi Bima, tapi karena sedang dalam perbaikan jadinya kami tidak bisa masuk area ke Candi Bima. Kurang lebih 20 menit jalan kaki, kami sampai di objek wisata Telaga Warna. Untuk masuk kesini kami harus membayar karcis seharga Rp 6.000,- perorang.
Hanya 20 meter dari pintu masuk, kami langsung dibuat terpana dengan keindahan Telaga Warna. Salah satu teman saya seketika nyeletuk, "Kayak Ranu Kumbolo ya". Saya sih setuju saja disebut begitu, karena memang secara anatomi sama-sama berbentuk "danau". Meski dengan level perjuangan yang jelas berbeda dari Ranu Kumbolo, Telaga Warna ini mempunyai eksotismenya tersendiri.
|
Pintu masuk Telaga Warna |
|
Telaga Warna yang mood-nya lagi pengen ijo |
|
(Bukan) bidadari-bidadari yang lagi mandi di Telaga. |
|
Gak sembarang orang berani sampe di ujung batang pohon ini, lho. Hehehe.. |
Selesai sesi pemotretan di Telaga Warna dengan properti satu batang pohon tumbang, kami melanjutkan perjalanan ke area lain di Telaga Warna ini. Mengikuti jalan setapak yang sudah ada, pengujung akan menemukan beberapa situs sejarah yaitu Goa Semar, Goa Pengantin, dan Prasasti Batu Tulis dengan Arca Patih Gajahmada. Selain itu pada ketinggian tertentu pengujung bisa melihat Telaga Pengilon. Sayangnya saya tidak mengambil gambar Telaga Pengilon ini, karena saya pikir yang saya lihat itu hanya rawa biasa. Setelah diberi tahu oleh pengunjung lain baru saya tahu kalau yang saya anggap rawa itu adalah Telaga Pengilon.
|
I wish I was in this picture. Nasib tukang poto :( |
|
Batu Tulis |
|
Goa Semar |
|
Goa Pengantin |
Masih di area Telaga Warna, mengikuti tangga yang lumayan menanjak, pengunjung akan dibawa ke Dieng Plateau Theater (DPT). Letaknya yang tinggi memungkinkan pengunjung untuk melihat panorama dataran tinggi Dieng, kecuali kalau lagi mendung dan berkabut seperti yang kami alami. Di sini ada satu bangunan besar yang di dalamnya adalah ruangan bioskop untuk pemutaran film dokumenter. Namun saat kami datang DPT sudah ditutup. Lagian kami datangnya kesorean juga, sih.
|
Dieng Plateau Theater (tampak dari belakang) |
|
Depan Dieng Plateau Theater |
Hanya sebentar kami berfoto-foto di DPT lalu lanjut ke Homestay. Kurang lebih satu jam perjalanan yang kami tempuh dari Telaga Warna sampai Homestay. Untunglah di sekitar pertigaan Bu Jono banyak warung makan. Dengan lapar yang menghadang langsung saja kami membabi buta mencari makanan yang bisa langsung disantap.
Sebelum tidur tidak lupa saya janjian dengan penjaga Homestay untuk melihat sunrise di Bukit Sikunir agar disiapkan motor untuk kami. Sekalian juga minta diantar ke Desa Sembungan.
Hari-2: Sunrise Bukit Sikunir
Jam 3 pagi, kami sudah bangun tidur. Selain karena memang hawa dingin yang bikin tidur saya jadi tidak nyenyak juga karena motivasi yang kuat untuk tidak melewatkan moment sunrise Bukit Sikunir yang kata orang salah satu yang terbaik di negeri ini.
Perjalanan kami menuju desa Sembungan sempet terhambat gara-gara motor yang saya tumpangi ngadat di jalan. Masih ditambah lagi mas-mas yang mengantar kami tiba-tiba hilang. Bahkan sampai turun dari Bukit Sikunir kami si mas-mas tidak juga muncul. Baru dalam perjalanan pulangnya kami ketemu dengan si mas-mas dengan cerita kalau ban motornya pecah. Saya yang tadinya sudah kesel banget gara-gara motor yang gak beres akhirnya malah jadi kasian dan gak jadi protes.
Untuk menuju puncak Bukit Sikunir, dari desa Sembungan tepatnya area parkiran Sikunir, pengunjung mau tidak mau harus menggunakan kaki masing-masing untuk berjalan mendaki ke puncak. Sebenarnya jalur menuju puncak Sikunir sangat mudah dan sangat jelas, tapi karena diantara kami sama sekali belum pernah ke Sikunir dengan senang hati kami menerima tawaran seorang guide yang mengajak kami untuk nanjak bareng tanpa dipungut biaya pula. Alasannya karena guide tersebut memang sedang mengantar tamu, tapi tamunya malah sudah naik duluan dengan guide lainnya alias mas guide ini ditinggal sama temennya. Hhehehe..
Barangkali ada hanya 30 menit perjalanan summit attack Sikunir yang kami lalui. Dalam perjalanan kami menemui sekelompok pengunjung yang salah satu anggotanya sudah sangat kecapekan dan kehabisan napas padahal baru setengah perjalanan. Walaupun Bukit Sikunir ini tidak tinggi, memang ada baiknya sebelum memulai pendakian para pengunjung melakukan latihan fisik dulu biar sedikit atau setidaknya melakukan pemanasan dulu sebelum start pendakian. Kan sayang kalau sudah bangun pagi-pagi banget, atau bahkan datang dari daerah yang jauh, tapi summit attack terhambat hanya karena kram atau kecapekan. Belum lagi masih harus merepotkan teman seperjalanan.
Here it goes, sunrise at Sikunir...
|
Dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Gunung Merapi |
|
Pemandangan di sebelah selatan bukit |
Mungkin karena keterbatasan kemampuan kamera saya dalam menangkap gambar, tapi percayalah, tidak ada yang mampu menandingi Tuhan dalam menciptakan lensa yang terbaik, yaitu mata manusia. Biarpun apa yang terpotret dalam foto-foto di sini tidak mampu memukau siapa yang melihatnya tapi mata saya jelas sudah terpukau dengan keindahannya yang secara nyata. Intinya, kalau gak percaya dengan cerita saya tentang mahsyurnya sunrise Sikunir silahkan buktikan dan datang sendiri.
Bukan karena sudah mati rasa saya dengan dinginnya temperatur di puncak Sikunir sampai malas rasanya memakai windbreaker tapi karena sinar matahari sudah mulai menghangatkan permukaan bumi tempat saya berpijak. Itu jadi pertanda untuk kami segera turun dan kembali ke homestay. Mengikuti saran dari mas guide yang kami barengi tadi, untuk perjalanan turun kami memilih jalur sebelah barat. Benar saja, di jalur yang ini kami bisa melihat Telaga Cemplong yang letaknya ternyata tepat di bawah bukit. Dari sini juga terlihat area parkiran dimana pengunjung bukit Sikunir menitipkan kendaraan mereka sebelum mendaki bukit Sikunir.
|
Telaga Cemplong di sisi barat bukit |
Pukul 6.30 akhirnya kami benar-benar meninggalkan Bukit Sikunir. Sesampainya di homestay, rasa lapar yang sedari di puncak Sikunir sudah ditahan pun akhirnya menuntut untuk dimusnahkan. Dengan meminjam motor lagi, kami telusuri jalanan di Dieng untuk mencari sarapan. Akhirnya setelah berkendara sampai ke perbatasan Wonosobo-Banjarnegara, kami menemukan satu-satunya tempat makan yang sudah buka pada jam sepagi itu. Karena di dekat warung makan ada toko oleh-oleh sekalian juga kami beli carica dan keripik kentang di situ.
Jam 10 pagi kami sudah siap untuk pulang. Packing barang-barang, check out dari homestay langsung nongkrong di pertigaan Bu Jono, nunggu bis. Sama seperti waktu kami datang, kami naik bis sampai area perbaikan jalan Kejajar-Dieng lalu jalan dikit untuk selanjutnya ganti bis yang menuju Wonosobo. Bilang saja sama kernetnya kalau mau ke terminal Terboyo, nanti akan diturunkan di suatu pertigaan yang saya lupa namanya, entah prajuritan atau kesatrian, ah, saya lupa. Dari pertigaan ini biasanya sudah ada bis jurusan Purworejo yang lagi ngetem, langsung saja naik bis ini dan minta diturunkan di Terminal Terboyo, bilang juga pintu terminal yang menuju ke Jakarta.
Pukul 11.30 kami sudah sampai di Terminal Terboyo. Langsung pesan tiket untuk kembali ke Jakarta.
Karena jam keberangkatan bis Sinar Jaya masih sangat lama, akhirnya kami berniat ke pusat kota Wonosobo. Setelah menitipkan tas-tas kami di mbak petugas penjualan tiket Sinar Jaya, kami naik angkutan yang melewati daerah Tosari. Karena berdasarkan informasi dari ibu penjual jajanan di terminal, di Tosari ini ada warung makan mie Ongklok yang (sepertinya) terkenal.
|
Mie Ongklok |
|
Ini tempat kami makan mie Ongklok |
Tidak menyesal kami makan Mie Ongklok Tosari ini. Sempat merasa aneh dengan penyajiannya menggunakan sate ayam dan sambal kacang, tapi ternyata rasanya enak. Mie ongklok ini terdiri dari mie telur (kayaknya, saya gak terlalu yakin, tapi yang jelas mienya berwarna kuning, kayak mie telur) direbus dalam kuah berbumbu, tapi disajikan tanpa kuah, lalu diberi ajuran kanji (kanji yang disudah diperlakukan sedemikian rupa hingga penampakannya jadi seperti lendir, tapi tenang saja enak dimakan kok, jadi jangan jijik dulu). Setelah itu penyajiannya masih ditambah bawang goreng, irisan kucai dan irisan kasar daun kol yang agak tua, yang warnanya sudah hijau atau agak kehijauan. Mie Ongklok ini makin enak dimakan bareng sate ayam, hmmm.. enak banget, satu porsi gak akan cukup.
Melanjutkan perjalanan, sambil membunuh waktu sampai saatnya mendekati jam berangkat bis, kami manfaatkanlah kaki kami untuk jalan-jalan keliling kota Wonosobo. Tapi berlebihan kalau saya bilang sampai mengelilingi satu kota. Kami berjalan menuju Taman Aqua. Suasana di sekitar taman aqua ketika siang hari nampak sangat berbeda dibandingkan dengan pagi hari seperti saat kami pertama kali datang di Wonosobo. Di sebelah timur taman aqua, berjejeran toko-toko yang menjual berbagai hal. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah toko roti Aneka Boga. Meski namanya toko roti, di sini juga menjual gorengan dan aneka oleh-oleh khas Wonosobo. Saya sedikit menyesal waktu tahu kalau ternyata harga carica di sini justru lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan toko oleh-oleh di Dieng. Ah, tapi ya sudahlah, sudah terlanjur. Keluar dari Aneka Boga kami sudah menenteng tas plastik berisikan donat dan berbagai macam kue dengan maksudnya mau dimakan nanti dalam perjalanan di bis kembali ke Jakarta.
|
Toko Roti Aneka Boga |
|
Penampakan dalam Toko Roti Aneka Roti |
Untuk kembali menuju Terminal Terboyo, dari pusat kota Wonosobo, kami harus berjalan menuju pertigaan yang sama seperti saat ganti bis dari Dieng (yang saya lupa nama pertigaannya itu tadi, lho). Mungkin karena sudah capek jalan kaki, jadi berasa lama, padahal dari taman aqua ke pertigaan ini paling cuma 8-10 menit.
Hampir jam 3 sore kami sudah kembali lagi di Terminal Terboyo. Cari masjid, sholat dan istirahat sebentar, bisa istirahat lama juga, sih, soalnya memang masih banyak waktu sampai bis benar-benar berangkat. Jam 16.30 bis Sinar Jaya jurusan Wonosobo-Jakarta yang kami tumpangi akhirnya berangkat.
|
Catatan pengeluaran selama perjalanan |
Hari-3: Kembali ke Jakarta.
Alhamdulillah, sekali lagi saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT, Sang Penguasa Semesta Alam, untuk bisa melakukan tadabur alam, menyaksikan sendiri serta menghayati alam yang sarat dengan tanda-tanda kebesaran, kekuasaan dan keagungan-Nya.
Terimakasih!
1. Bapak Tuwuh Raharjo dan Ibu Suharni, atas sponsor doa yang tak pernah putus untuk saya, yang bahkan katanya mau nyusul waktu saya masih di Wonosobo, hahaha..
2. Teman-teman seperjalanan saya kali ini: Mima, Ningrum dan Hyda, semoga perjalanan ini menjadi cerita tersendiri untuk anak-cucu nanti.
Sampai bertemu di perjalanan berikutnya.