Thursday, May 5, 2016

Melihat Ternate dari Atas Benteng Oranje

Kalau masih ingat pelajaran waktu jaman sekolah dulu, pasti tahu tentang bagaimana Ternate bisa menjadi salah satu bagian dalam sejarah masa penjajahan di Indonesia. Maka tidak heran kalau di Ternate sampai saat ini ada banyak benteng-benteng bekas peninggalan masa kolonial. Salah satunya adalah Benteng Orange atau Fort Oranje. Kalau di googling "benteng orange" sebenarnya ada banyak di beberapa lokasi di Indonesia. Biasanya memang benteng peninggalan Belanda. Tahu sendiri kan orang Belanda seneng banget sama warna oranye.


Nah, beberapa bulan yang lalu, waktu teman saya dari Jakarta dapet dinas ke Maluku Utara, saya ajaklah dia ke benteng ini. Sebenernya karena bingung aja, udah jauh-jauh dari Jakarta mau diajak kemana. Sementara kondisi saya di Ternate gak ada motor jadi kalau mau ajak baronda (keliling pulau) Ternate ya gak bisa. Jadilah kami hanya jalan-jalan, yeah literally jalan pake kaki, di sekitaran penginapan tempat kami menginap di Ternate. 




Benteng Orange ini berada di kawasan Gamalama, tepat di pusat kota Ternate. Untuk mengelilingi benteng ini tidak akan memakan waktu lama kok. Jadi kalau Anda sedang berada di Ternate untuk waktu yang singkat, tidak ada salahnya mampir sebentar ke sini, sekedar untuk foto-foto. Dari atas benteng ini juga kita bisa melihat pemandangan sepanjang pantai sisi tenggara Kota Ternate, juga bisa lihat Pulau Maitara dan Tidore di kejauhan sisi baratnya.



Waktu saya ke benteng ini, kondisinya masih dalam perbaikan. Jadi kurang puas karena belum bisa lihat-lihat di bagian dalam benteng. Hanya bisa keliling di atas benteng dan sisi bagian belakangnya. Kabar terbaru sih katanya pemugarannya sudah selesai. 



Maaf, gak banyak yang bisa saya ceritakan soal benteng ini. Sebenarnya ini hanyalah postingan terselubung biar saya bisa numpang eksis aja. Hehehe. Maafkeun.






Wednesday, May 4, 2016

Merasa "Entahlah" di Dermaga Galau Bobanehena

Kalau diantara pembaca budiman sekalian (kayak ada yang baca blog ini aja, sih) ada penikmat blog traveling blog, mungkin ada yang sudah pernah baca salah satu tulisan di blog Marischa Prudence (Btw, saya ini termasuk follower jalan-jalannya kakak cantik yang satu ini, lho. Hehehe) tentang kunjungannya ke Jailolo. Di sana ada postingannya tentang Dermaga Galau di Desa Bobanehena, Jailolo. Nah, postingan saya kali ini pun adalah tentang situs wisata yang sama. Tapi bedanya, kalau Marischa Prudence tidak galau di Dermaga Galau, justru kalau saya malah galau. Ya gitu, deh, saya ini emang baperan, apalagi kalau habis capek ngantor terus mampir bentar ke Bobanehena, duduk-duduk di pinggir dermaganya, sambil nungguin matahari mingset, rasanya syahdu banget.



Dari beberapa spot pantai di Jailolo, Pantai Bobanehena ini termasuk favorit saya. Kenapa? Karena bentuknya yang berupa hole atau cekungan yang membentuk teluk kecil, membuat air di pantai ini tidak berombak. Airnya tenang dan jernih. Mirip-mirip Pantai Sulamadaha di Ternate. Jadi, kalau tiba-tiba pengen berenang tinggal nyemplung aja, deh. Suasananya udah kayak kolam renang outdoor gitu, deh. Cuma airnya berasa asin aja. 




Kalau gak mau basah-basahan, di sini enak juga kok kalau cuma buat duduk-duduk ngelamun, atau ngobrol-ngobrol gak jelas ngomongin orang bareng teman. Ada beberapa gazebo yang masih layak digunakan. Maklum, lah ya tempat-tempat wisata di Jailolo ini cuma terawat kalau ada moment acara seperti Festival Teluk Jailolo. Selebihnya ya dibiarkan saja. Mau ada pengunjung apa kagak, ya sajiannya suasana alami begitu aja. Eh, salah, kalau dari barang bukti yang saya temukan di TKP Dermaga Galau ini, tempat ini kayaknya jadi tempat buat mabuk-mabukan. Sampah-sampah puntung rokok dan bekas botol minuman keras berserakan di sekitarannya. Hmmm, sangat mengecewakan. 


Selama saya tinggal di Jailolo ini, entah kenapa banyak sekali kejadian "entahlah" yang saya alami. Hal-hal lucu, ajaib, dan tidak bisa dijelaskan dengan nalar dan akal sehat kerap sekali saya temui di sini. Ini saya buat list-nya:



Entahlah yang Pertama: Dermaga Galau
Entah kenapa bisa muncul julukan Dermaga Galau, padahal bentuk dan modelnya masih standar dermaga seperti kebanyakan dermaga pada umumnya. Malah waktu untuk kesekian kalinya saya kesini, bentuk dermaga ini lebih cocok kalau disebut "dermaga rapuh". Soalnya dermaga ini udah gak berdiri kokoh, buat berdiri di atasnya saja sudah goyang, siap-siap kecebur aja, deh.


Entahlah yang Kedua: Tanjung Pinang
Pantai Bobanehena ini bukanlah pantai berpasir, tapi berupa pertemuan langsung daratan tanah dengan lautan dengan batu-batuan bekas letusan gunung berapi yang membentuk karang di pinggiran pantai. Nah, di bagian muka pantai, eh gimana ya, maksudnya kalau sebelum sampai ke pantai kan biasanya ada pintu gerbang atau pintu masuknya gitu kan, lha berhubung di Pantai Bobanehena ini gak ada salah satunya, cuma jalan setapak aja lalu ada lapangan di depan pantai, jadi bingung nyebutnya gimana (ini adalah entahlah yang terselubung). Jadi, di dekat lapangan itu, ada tebingnya terus di situ dibuat tulisan macam "hollywood" gitu, tapi yang entahlah itu, kenapa tulisannya "Tanjung Pinang"? 

Pertama kali sampai di tempat ini, mendadak saya jadi bingung kan, perasaan tadi masih di Jailolo, kok tiba-tiba udah sampai di Kepulauan Riau?

Lalu, saya mulai curiga, barangkali di sekitar situ banyak tumbuh pohon pinang. Selidik punya selidik, sejauh mata memandang yang ada cuma pohon kelapa sama pohon cengkeh yang banyak. Entahlah...

"Tanjung Pinang" yang entahlah


Airnya bening banget

Entahlah yang Ketiga: Banana Boat
Tidak perlu dijelaskan sebenarnya. Karena saya sendiri merasa entahlah, kenapa ada banana boat di situ, terogok penuh kegalauan tak berdaya ulalala yeyeye begitu. Saya malah kasihan lihatnya. Coba Anda bayangkan kalau Anda jadi banana boat itu? Cuma dipakai setahun sekali kalau ada event festival, itu pun ya kalau ada yang mau naik, kalau gak? Dan event festival itu paling pol cuma seminggu. Ya, cuma tujuh hari dalam setahun. Bayangkan, rasanya teronggok sepi di pinggiran pantai yang syahdu banget selama 358 hari. Pasti, sakitnya tuh di banana boat.


Rasanya cukup tiga keentahlahan saja yang pantas saya ceritakan di postingan saya kali ini. Rencananya sih, pengen ngecek kondisi Dermaga Galau, kebetulan kan sekarang lagi jalan Festival Teluk Jailolo juga, barangkali banana boat-nya udah gak galau,


Akhir kata, selamat menikmati jepretan senja dari Dermaga Galau, Pantai Bobanehena, Jailolo. Cuma semburat jingga aja sih, karena posisinya yang berbentuk cekungan jadi saat matahari tenggelam ketutup bukit di sisi baratnya. Well, kalau kata @arievrahman di blog-nya waktu nulis tentang Jailolo, sunset di Jailolo, yang untuk mendapatkannya membutuhkan lebih dari perjuangan dan doa anak saleh.








See ya!

Tuesday, May 3, 2016

Teluk Jailolo, Landmark Andalan Halmahera Barat

Seperti janji saya di postingan tempo lalu, bahwa saya mau cerita tentang Jailolo, nah ini salah satunya. Pertama tentunya akan lebih afdol kalau saya cerita tentang landmark andalan di Halmahera Barat yang satu ini: Teluk Jailolo.

Jalur laut Ternate - Jailolo

Teluk Jailolo ini adalah salah satu akses utama untuk memasuki wilayan Halmahera Barat. Dari Ternate menyebrang di Pelabuhan Dufa-dufa, bisa menggunakan speed atau kapal kayu. Speed beroperasi setiap hari, hanya jam operasionalnya saja yang gak jelas, karena mereka pakai sistem ngetem. Kalau di Jawa ibaratnya kayak bis lah. Lalu ada juga kapal kayu. Kapal kayu ini juga ada setiap hari, beroperasi sehari dua kali, yaitu setiap jam 9.00 WIT dan 14.00 WIT. Ini jadwal seharusnya ya, tapi sekali lagi, semua kembali pada jumlah penumpang juga, kalau kira-kira baru sedikit penumpangnya bisa dipastikan molor untuk ngetem

Meski terpaut sedikit harga tiketnya, speed Rp 50.000,- sedang kapal kayu Rp 40.000,-, tapi waktu tempuh speed hampir dua kali lebih cepat daripada kapal kayu, dengan speed hanya 45 menit. Jadi kalau Anda tidak terlalu buru-buru kalau mau ke Jailolo dan ingin menikmati panorama di atas lautan Halmahera, maka saya sarankan naik kapal kayu saja. Apalagi kalau menyeberangnya sudah masuk waktu siang hari, lebih baik naik kapal kayu saja. Soalnya kalau sudah siang lautan Halmahera suka berombak tinggi. Tapi kalau mau maksa naik speed ya gakpapa juga, sih. Paling jadi berasa naik kora-kora aja. Mayan, kan gak perlu jauh-jauh sampe Dufan.

Landmark Teluk Jailolo

Pintu masuk Halmahera Barat adalah Pelabuhan Jailolo yang tepat berada di Teluk Jailolo. Pelabuhan ini merupakan hasil reklamasi, perpanjangan daratan dari Teluk Jailolo. Di sini ada beberapa dermaga, satu dermaga besar untuk sandar kapal-kapal besar termasuk kapal kayu, lalu ada tiga dermaga kecil yang digunakan untuk sandar speed.

Keluar dari Pelabuhan, sudah ada banyak ojek, bentor (becak motor) dan otto (sebutan mobil di Maluku Utara) pangkalan. Kalau Anda sedang atau akan berkunjung untuk pertama kali di Jailolo atau Maluku Utara pada umumnya, perlu diketahui kalau harga ojek disini tidak semahal di Jawa. Untuk jarak dekat tarifnya mulai dari Rp 5.000,- (ya, inilah bedanya, di sini ojek mau antar baik jarak dekat maupun jarak jauh). Kalau untuk bentor, biasanya selisih lebih mahal dikit aja kok. Satu bentor bisa muat untuk 3 orang, dua orang di depan, satu orang bonceng di motornya. Kabar terbaru katanya sekarang tari bentor dihitung perkepala, bukan pertarikan lagi.

Jailolo "City?"
Kembali ke Teluk Jailolo, di sini adalah lokasi utama pelaksanaan agenda wisata tahunan Festival Teluk Jailolo (FTJ). Saat saya nulis postingan ini di sana lagi banyak stand-stand gitu, deh. Terus selama seminggu ini setiap hari ada acara macem-macem di sana. Kalau hari-hari biasa sih, sebenernya tempat ini sepi, palingan yang rame di bagian pemandian air panas di bawah pohon beringin (soal pemandian air panas di Jailolo akan saya buat postingan sendiri nanti). Atau kalau gak, biasanya banyak bapak-bapak sama anak-anak kecil yang mancing di sepanjang pinggir teluk. 


Patung petani kasbi
Di situs Teluk Jailolo ini punya tiga ciri khas. Pertama adalah tulisan raksasa "JAILOLO City". Sampai sekarang saya masih heran dengan kata "city" itu. Apa yang bikin rancangan tulisan ini gak cari tahu dulu ya arti kata "city"? Karena setahu saya sampai tulisan ini turun, status Jailolo itu adalah ibukota kabupaten. Kabupaten ya, bukan kota, yang jauh sekali dari rasa perkotaan yang saya tahu. Tapi yaudahlah ya, ini emang sayanya aja yang tukang protes. Iyakali kalau tulisannya bisa ditipe-x.

Lalu, ciri kedua adalah patung simbok-simbok lagi nggendong setenggok (saya lupa sebutan lokalnya apa) kasbi (nama lokal untuk ubi kayu atau ketela pohon) yang gak keliatan natural banget. Kenapa gak natural? Karena kalau si simbok itu bukan wonder woman, gak mungkin banget dia bisa berdiri tegak sambil bawa setenggok penuh ketela pohon begitu. Oh, iya saya lupa itu kan patung.

Terakhir, adalah panggung atas laut. Gak perlu dijelasin lagi kan ya. Jadi di situ ada panggung permanen yang didirikan di atas laut. Biasanya panggung ini baru digunakan waktu ada acara seperti Festival Teluk Jailolo.

Nah, jadi itu tadi tentang Teluk Jailolo. Situs yang biasa aja sebenarnya, tapi tetap belum sah rasanya kalau Anda ke Jailolo tapi belum foto di landmark tulisannya, ya gak ya gak? Tips kalau mau foto di sini, sebaiknya pas pagi menjelang siang hari saja, soalnya jam-jam segitu langit sedang panas-panas cerah-cerahnya. Lalu jangan berharap bisa sunset-an di spot ini ya. Kalau cuma mau liat langit jingga sih, masih bisa, tapi kalau mau dapet golden moment-nya agak susah disini, soalnya posisi matahari tenggelam di teluk ini tertutup bukit di sisi baratnya.

Oke, segini dulu ya. Selamat malam, salam hangat dari Jailolo. :*