Thursday, December 17, 2015

Bibinoi, Air Terjunnya Orang Bacan

Kawasan Indonesia timur memang menjadi andalan pariwisata di Indonesia. Kalau boleh lebay, disinilah Tuhan menabur serpihan-serpihan surgaNya. Banyak turis berbondong-bondong berdatangan ingin melihat eksotisme di Indonesia timur ini. Mereka sudi membayar mahal padahal hanya untuk nyemplung di lautnya atau sekedar berjemur di  pantainya.

Satu ketika saya mbathin, khususnya selama di Bacan, spot-spot eksotis yang menurut saya punya daya tarik pariwisata yang luar biasa, entah kenapa justru dibiarkan sepi. Saya tidak mau berprasangka buruk pada kinerja pihak-pihak yang berwenang terkait pemberdayaan pariwisata di sini. Bisa jadi mereka memang sedang sedang melindungi situs-situs wisata agar tidak dirusak traveler alay. 

Kalau ada yang beralasan karena terbatasnya sarana, seperti keterbatasan sarana perhubungan, saya pikir itu bukan masalah. Lihat saja bagaimana nama Raja Ampat sekarang bisa begitu dielu-elukan di kalangan wisatawan meskipun untuk menuju situs wisatanya sendiri saya yakin tidak melalui jalan yang mudah. Karena kondisi geografis di Indonesia timur ini rata-rata hampir sama, kepulauan. Untuk mencapai daerah yang bagus dan indah pasti harus melalui perjalanan menembus awan dan membelah lautan.

Tapi ya udahlah ya, saya gak mau muluk-muluk ngomongin bagaimana potensi wisata di Halmahera Selatan ini harus dikembangkan. Saya ini apa sih, cuma remah-remah roti boy. Traveler juga bukan. Cuma perantau yang mencari sesuap nasi dengan cara merantau ke pelosok negeri. Iya, pelosok. No offense ya.

Nah, di sini saya mau cerita tentang satu tempat wisata andalan masyarat di Bacan. Kalau kalian pikir wisatanya berupa wisata pantai atau wsata bawah laut, kalian salah. Tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh masyarakat di sini justru air terjun. Air terjun Bibinoi, namanya. Letaknya di Kecamatan Bacan Timur. Untuk menuju kesana cukup dengan naik motor. Kira-kira menempuh waktu 2 jam dari Labuha (pusat kotanya Bacan). Kondisi jalanan menuju Bibinoi sudah rata diaspal. Hanya saja di setengah jam terakhir mendekati spot air terjunnya jalanan masih tanah dan harus melewati sungai tanpa jembatan. Offroad lah pokokmen.


Karena jalannya sepi, jadi selfi deh


Lucu ya? Kalau orang-orang di luar sana nyarinya wisata pantai atau wisata bawah laut, tapi kalau masyarakat lokal begitu antusias dengan air terjun. Barangkali karena mereka sehari-hari saja memang sudah mandinya di pantai. Mau liat terumbu karang juga sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Jadinya begitu ada air terjun yang memang jadi hal yang jarang buat anak pantai, mereka lantas berbondong-bondong penasaran untuk datang.

Saya sebut berbondong-bondong karena jujur baru kali ini saya melihat orang-orang Bacan piknik. Dan pikniknya di air terjun Bibinoi ini. Makanya waktu diajak ke sini saya punya ekspektasi tinggi. Saya pikir air terjunnya memang fantastis atau gimana. Apalagi setelah melalui perjuangan melalui jalanan off-road-nya, dalam hati saya berharap apa yang ada dibalik belantara yang saya lewati nantinya adalah sesuatu yang memang sepandan dengan perjuangannya.

Air terjun Bibinoi
Daaan ternyata? Yup. Biasa aja. Hahaha. Tadinya waktu kami datang masih sepi pengunjung, hanya ada sepajang muda-mudi. Eh, begitu siangnya, waktu kami sudah mulai capek berenang-berenang geje, mulai berdatangan beberapa rombongan pengunjung. Ada 3-5 rombongan keluarga kecil, ada rombongan genk sekolahan, ada sekumpulan mahasiswa, dan ada juga serombongan keluarga besar yang sempat saya kira pengungsi, karena barang yang mereka bawa begitu banyak, yang belakangan saya tahu kalau itu bekal makan siang mereka. Niat banget.

Satu-satunya penjual makanan

Tempat parkir seadanya
Siapa sangka, air terjun yang bagi saya terkesan biasa-biasa saja ternyata ramai didatangi masyarakat lokal. Dari sini satu hal yang saya tangkap, bukan seberapa spektakular air terjunnya, bukan seberapa indah tempatnya, bukan seberapa menakjubkan panoramanya, tapi satu hal penting yang membuat pengalaman berwisata itu akan mejadi bermakna, yaitu dengan siapa kita menikmatinya. Bisa jadi bersama-sama keluarga atau teman-teman, bisa jadi hanya berdua dengan kekasih, atau bisa juga sendirian saja. Masing-masing akan membekaskan makna yang berbeda pula.

Foto setelah lulus sensor


Terimkasih, teman-teman yang juga rekan-rekan sekantor selama saya tugas di Halmahera Selatan. Air terjun Bibinoi yang biasa saja jadi terasa luar biasa karena ada kalian. Eciyeee. Bukan cuma teman-teman yang ada bersama saya saja waktu ke Bibinoi, sih. Teman-teman lainnya juga yang waktu itu gak ikut, semua rekan-rekan kantor saya selama di Halmahera Selatan, dua tahun bersama kalian terasa sangat luar biasa. Banyak suka dan duka yang telah kita lalui bersama. Ada tawa, tangis, luka, marah dan kecewa, semua menyatu jadi bumbu persahabatan yang kemudian menghadirkan rasa kekeluargaan di antara kita. 

Terimakasih, Bacan. Terimakasih.

Sajian Berselera Bernuansa Jingga dari Pulau Makian

Lagi-lagi tuntutan profesi membuat saya menjelajahi negeri. Halah, opo sih. Padahal masih di sini-sini aja. Masih di Halmahera Selatan. Tapiiiii.. dasar memang kabupaten tempat tugas saya yang satu ini lain dari yang lain. Setidaknya jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara. Kabupaten yang mempunyai 30 kecamatan ini wilayahnya menyebar mencar-mencar kesana kemari, dan kali ini saya ditugaskan turun lapangan ke Pulau Makian. Satu pulau berbentuk lingkaran yang letaknya lebih dekat dari Ternate daripada Bacan, yang merupakan pusat pemerintahan daerah Kabupaten Halmahera Selatan.

Rute Perjalanan
Untuk menuju Pulau Makian dari Bacan, saya harus menumpang kapal satu malam ke Ternate dulu. Baru keesokan harinya, begitu sampai di Ternate langsung saya cus cari kapal speed reguler yang membawa penumpang ke Pulau Makian. Ribet dan capek.


Siluet hamparan Pulau Halmahera

Sunrise dari Ternate
Pagi itu di Pelabuhan Bastiong-Ternate cuacanya cerah. Laut belum berombak dan dari arah timur langitnya memancarkan rona kemerahan, membuat saya langsung gelagatan cari-cari hape kuatir terlewatkan untuk memotret lukisan Tuhan yang satu ini. 
Siluet Gunung Tidore
Perjalanan menuju Pulau Makian dari Ternate menempuh waktu kurang lebih dua jam. Selama perjalanan saya tidur menikmati panorama pegunungan di Maluku Utara ini. Di sebelah timur ada Gunung Tidore, sebelah barat Gunung Maitara, lalu ketika sudah lebih ke selatan lagi akan mulai nampak pegunungan di Pulau Halmahera. Sebelum sampai di Pulau Makian, kurang lebih setengah jam sebelumnya, kapal speed akan singgah dulu di Pulau Moti. Sedikit heran ketika tahu kalau pulau ini masih masuk ke dalam wilayah administrasi Kota Ternate, padahal jelas-jelas wilayahnya sudah melewati Kota Tidore. Tapi kemudian saya maklum saja, karena entah kenapa menurut saya selalu ada saja hal-hal di sini yang lebih suka dipersulit keadaannya. 

Kondisi jalan di Makian

Sampai di Pulau Makian, kapal speed sandar di sebuah pelabuhan kecil. Di ujung jalan sudah banyak ojek yang menawarkan diri mengantar penumpang. Ya, hampir sama seperti di Ternate ataupun Bacan, di Makian ini pun alat transportasi umum andalannya adalah ojek.

Untuk menuju desa tempat tugas, saya masih harus menempuh perjalanan darat. Dengan membonceng motor, saya dan mitra yang nantinya akan mendampingi saya selama di Makian, membelah hutan Makian. Tiap-tiap desa di Pulau Makian ini terhubung dengan jalan, tapi masih ada juga sih beberapa yang masih mengharuskan menyeberang dengan kapal atau katinthing. Khusus untuk Makian bagian barat, atau masyarakat di sana lebih sering menyebutnya Makian luar, kondisi jalannya lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan Makian dalam yang sudah banyak jalanannya yang diaspal. Di Makian dalam juga hampir semua jalan yang terpisahkan sungai sudah dilengkapi dengan jembatan penghubung, sedangkan di Makian luar masih banyak yang belum.

Tadinya saya pikir perjalanan saya di Makian ini akan mudah, tapi ternyata saya salah besar. Pulau Makian ini kontur jalannya naik-turun dan curam. Sering kali selama perjalanan membonceng motor terpaksa saya diturunkan. Kalau sudah ketemu tanjakan mau gak mau harus turun dari motor terus jalan kaki sampai ujung tanjakan. Kalau gak begini kasihan, gak kuat motornya. Udah gitu motornya matik lagi, duh duh, orang di sini tuh lucu, udah tau kondisi medan yang banyak tanjakan gini kok ya beli motornya matik. Opo ra marakke semplok tanganne ne ngegas.


Saya ditugaskan di Makian ini selama seminggu, dan selama di sini untuk pertama kalinya saya melihat langsung yang namanya kenari. Buah kenari ya, atau kalau bule bilang walnut. Warga di sini punya tiga cara untuk menyantap buah kenari; dimakan mentah, disangrai, dan diolah menjadi kue halua. Halua itu semacam enting-enting kalau di Jawa.

Kebetulan kehadiran saya di Makian ini bertepatan dengan musim panen buah kenari, jadi setiap kali saya mengunjungi rumah warga pasti disuguhi buah kenari. Ada yang disajikan metah, ada juga yang sudah disangrai. Dua-duanya sama-sama enyaaak. Hehehe.

Kenari sebelum dikupas
Kenari setelah dikupas
Selain sedang musim buah kenari, di Makian juga sedang banyak yang lagi panen pala. 
Pala
Well, tidak banyak yang bisa saya pamerkan selama di Makian. Karena pagi sampai sore saya memang harus kerja ya. Hehe. Tapi hampir setiap sore yang saya habiskan di Makian tidak pernah saya lewatkan untuk mengantarkan matahari tenggelam. Khususnya selama di Makian luar yang hampir semua sebelah barat desanya berbatasan dengan laut, sunset di sini tidak pernah mengecewakan. Foto-foto sunset di sini saya potret dari beberapa desa yang berbeda.













Setelah beberapa hari di Makian luar, saatnya pindah ke Makian dalam. Karena jalur terdekat tidak bisa ditempuh dengan jalan darat mau tidak mau untuk menuju ke sana saya harus mencarter kapal motor. Sedihnya, di kapal yang saya sewa gak ada peneduhnya. Jadi yah, harus siap menahan panas langsung dari matahari tanpa tedeng aling-aling. 

Kapal motor yang saya carter selama di Makian

Coral raksasa di dekat tempat sandar kapal
Selama di Makian dalam, kondisinya berkebalikan dengan di Makian luar. Kalau di Makian luar begitu mudah mendapati lembayung senja, maka di Makian dalam sambutan matahari paginya yang mengagumkan. Tapi memang benar kata orang, sunrise is overrated dan pada dasarnya saya tukang tidur, jadi cuma sekali saja saya motret sunrise, itu pun waktu di pelabuhan pas mau naik kapal speed ke Ternate. 

Sunset dari Makian dalam, motretnya mesti naik kapal, difoto dari laut


Sunrise Makian dalam

Sunrise Makian dalam
Sekembalinya dari tugas di Makian, saya langsung tepar. Capek secapek-capeknya. Kalau udah gitu terus lihat-lihat lagi foto-foto selama disana pasti ilang capeknya, gak ding tetep capek jadi tersenyum-senyum sendiri. Satu lagi pengalaman bertambah. Satu lagi cerita untuk anak-cucu telah tercipta. Dan satu lagi jejak telah saya tinggalkan di persinggahan saya kali ini. 


Terimakasih!

Wednesday, December 16, 2015

Siap Pegel Menanggung Kagum di Gugusan Kepulauan Kayoa

Ini adalah salah satu dari beberapa perjalanan saya dalam menunaikan pekerjaan saya di semester satu tahun 2015 ini. Kalau saya baru mau menulis ceritanya sekarang ya maafkan, maklumlah pekerjaan saya begitu menyita waktu. (Hakprettcihh!)

Kali ini saya ditugaskan di tiga kecamatan sekaligus, yaitu Kayoa, Kayoa Selatan dan Kayoa Barat. Kecuali Kayoa Barat, dua kecamatan lainnya berada pada satu gugusan kepulauan yang sama. Sedang Kayoa Barat sendiri letaknya lebih jauh ke barat daya dari Pulau Kayoa induknya. Kayoa Barat sendiri memiliki karakter kontur yang berbeda. Kalau di Kayoa dan Kayoa Selatan lebih didominasi daratan dan pantai, di Kayoa Barat lebih berbukit. Mungkin karena alasan ini yang membuat Kayoa Barat menjadi satu-satunya kecamatan di Halmahera Selatan yang belum mendapatkan jaringan sinyal telekomunikasi sama sekali. Jadi ya bayangkan saja, dua hari satu malam saya di Kayoa Barat yang zero sinyal itu, rasanya seperti hidup di luar angkasa yang hampa udara, sesak.

Alat perang saya kalau mau turun lapangan

Perkiraan rencana perjalanan saya sebenarnya tidak akan sampai ke tiga kecamatan sekaligus. Rencana saya hanya ke Kayoa induk saja, lalu kembali pulang ke Bacan. Jadi persiapan saya pun seadanya saja. Tapi rupanya alam semesta berkehendak lain. Karena satu dan lain hal, jadilah saya berkelana di lautan Kayoa.  

Speed Kayoa

Untuk menuju Kayoa dari Bacan caranya dengan menumpang kapal speed yang normalnya berangkat dari Bacan tiga kali seminggu. Saya sebut normal adalah ketika cuaca bagus dan ombak tidak terlalu tinggi. Ya beginilah keadaannya, bahkan motonya pengelola pelabuhan saja "lebih baik tidak pernah berangkat daripada tidak pernah sampai". Jadi saat ombak tinggi, kapal-kapal lebih memilih tidak berangkat saja.


Interior dalam kapal speed

Kapal speed yang saya tumpangi kali ini namanya "Kilau Samudera". Kapal ini adalah kapal pengadaan dari pemerintah kecamatan Kayoa, untuk memfasilitasi transportasi masyarakatnya dari dan ke Bacan. Tapi tidak selalu harus orang Kayoa juga yang boleh naik speed ini sih. Orang Jawa macam saya juga boleh, yang penting mbayar.


Sebelumnya saya sudah sering dengar tentang pamor ombak Kayoa. Banyak yang sudah mengalami dan menceritakan ke handai taulan bahwasanya ombak Kayoa itu ganas. Tapi mungkin keberuntungan pun bisa menangkis pamor, karena selama perjalanan saya di Kayoa ini Alhamdulillah tidak sampai mendatangkan prahara. Tidak sampai mabok laut, tapi yah ada gejalan mules-pusing sedikit lah, tapi masih wajar karena kurang oksigen di dalam kapal speed. Untuk mengatasinya seperti biasa saya memilih menegak antimo lalu micek saja. Alhasil tahu-tahu sudah sampai tempat tujuan, deh. Meski dengan kondisi bathuk (dahi) saya yang memar-memar dan benjol-benjol karena kepanthuk (kejedot) sandaran tempat duduk di dalam kapal speed yang keras. 


Begitu mulai memasuki kawasan gugusan pulau-pulau sekitaran Kayoa, mulai terlihat pemukiman penduduk. Adalah satu keunikan tersendiri melihat keadaan di daerah kepulauan begini yang jelas tidak saya temui di Jawa. Ciri khas rumah tinggal penduduk kepulauan itu ya begini kayak di foto-foto yang saya ambil. Masyarakat yang kebanyakan mata pencahariannya adalah nelayan sudah pasti cenderung membangun rumahnya di tepi laut, bahkan kebanyakan suku bajo malah lebih memilih memangun tempat tinggalnya di atas laut. Biar gampang parkir perahunya, toh.




Kayoa induk
Setelah kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya saya sampai di Kayoa induk. Hati saya sangat lega rasaya saat memandang dari kejauhan ada menara tower di pulau ini. (Dasar!) Walaupun ternyata kualitas sinyalnya hanya sebatas edge, tapi ini sudah lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Tiga kata untuk menggambarkan kondisi di Kayoa induk: PANAS, PANAS dan PANAS. Mungkin kalau penderita epiktaksis berdiri lima menit saja di pulau ini pasti langsung moncrot-moncrot mimisan. Kontur pulau yang berada tepat di perlintasan khatulistiwa ini memang berupa daratan rendah, tidak ada bukit atau gunung sama sekali, pantaslah kalau diselimuti hawa panas menyengat. Namun, lagi-lagi keberuntungan masih menyertai saya waktu itu, hujan turun membasahi bumi Kayoa, yang kata warga di sana sudah sekian hari tidak turun hujan.


Tugu Khatulistiwa

Satu-satunya penginapan di Kayoa

Geliat pasar di Kayoa
Tugas saya di Kayoa induk akhirnya selesai dalam dua hari. Selanjutnya saya masih harus menuju ke Desa Talimau, masih dalam wilayah Kecamatan Kayoa Selatan, tapi jauh di sebelah barat, terpisah di satu pulau kecil yang masyarakat di sana menyebutnya Kepulauan Guraici. Ah, sebenarnya saya sudah ingin pulang ke Bacan saja waktu itu, kalau tidak karena tanggung jawab pekerjaan. (Ceilahh).

Selama perjalanan ke Desa Talimau, rasa ingin pulang saya tadi tiba-tiba sirna (Enggak ding, tetep pengen pulang juga sih). Terhapuskan dengan keindahan Kepulauan Guraici. Meski selama hampir satu jam pertama kapal speed kami harus berjuang menantang ombak tapi begitu sudah memasuki wilayah gugusan pulau-pulau kecil di sekitaran Guraici, ombak mulai mereda, bahkan ada daerah yang tidak berombak sama sekali. Jadi semacam kolam air laut raksasa. 

Keindahan bawah lautnya? Jangan ditanya. Luar biasa! Spektakular! Jaw-dropping! Ngeces! Cess cess cess! KEREENNN BANGETTT!
Cuma sayang banget, karena saya pikir tidak akan ikut ke Guraici, jadi saya gak bawa action-cam untuk motret bawah laut. Jadinya saya cuma bisa motret-motret dari atas laut saja pakai kamera hape saya. Ah, kzl.

Btw, kawasan kepulauan Guraici ini memang ditonjolkan sebagai kawasan wisata bahari oleh pemerintah daerah Halmahera Selatan. Tepatnya di Pulau Lelei, di sana pengelolaan sarana wisatanya sudah sangat mencukupi. Banyak rumah-rumah warga yang disulap jadi homestay bagi wisatawan. Untuk transportasinya sendiri sudah termasuk sangat dimudahkan karena ada kapal speed yang secara regular melayani perhubungan ke Pulau Lelei dari Ternate.



















Dua wilayah laut yang berbeda, lihat ombaknya deh
Ketika perjalanan kami sudah mendekati tujuan yaitu Desa Talimau, kondisi di kapal agak sedikit bikin deg-deg-an, karena untuk menuju pulaunya melewati semacam jurang karang. Jadi yang tadinya lautnya cuma cethek ketemu sama bagian laut yang dalam. Di sini ombak mulai tinggi. Bukannya terus melaju, berulang kali kapal speed yang kami tumpangi justru balik mundur terbawa ombak. Tapi untungnya motoris kami sangat bisa diandalkan. Pak Saf, salah satu sekdes di Kayoa ini begitu piawai memainkan mesin motor kapal. Sampai akhirnya sampailah kami di Desa Talimau.

Pak Saf, motoris kami yang seksi dan eksotis


Kesan pertama di Talimau ini masih sama seperti di Kayoa induk. PANAS. Oh tidak bahkan lebih. LEBIH PANAS. Sepertinya orang-orang di sini terlalu malas menanam pohon perindang.

Seperti biasanya kalau lagi turun ke desa-desa remote begini. Pendatang seperti kami akan selalu disambut dengan tanda tanya. Meski tak jarang juga ada anak-anak yang langsung berteriak, "Ibu bidan! Ibu bidan!" dan biasanya saya hanya bisa tersenyum kecut. Karena saya bukan bidan. Tapi daripada menjelaskan ke mereka tentang pekerjaan saya yang belum tentu juga mereka paham, biasanya langsung saya iyakan saja.

Gaya abis kan? Pondasinya pake terumbu karang





Enaknya tugas di daerah perdesaan apalagi yang terbatas akses keluar desanya seperti Talimau ini adalah lebih besar peluang ketemu warganya. Yah, meski perjuangan menuju lokasinya juga menantang maut. 


Desa Busua, Kayoa Barat
Setelah menyelesaikan tugas kami di Talimau, kami langsung perpindah ke destinasi selanjutnya, ke Kayoa Barat, tepatnya di Desa Busua. Awalnya sempat ragu, karena kuatir dengan kondisi lautan. Tapi akhirnya rombongan pun sepakat untuk lanjut. Syukurnya, belum sampai gelap kami sudah tiba di Busua.

Kepala Desa Busua dan rombongan baru pulang dari kebun

Seperti model-model pemukiman kepulauan pada umumya, di Busua juga didominasi rumah-rumah panggung. Malam itu kami bermalam di rumah kepala desa Busua. Di sini lah pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, menjajal buang air di cumplung cebluk, yang berakhir dengan kehampaan. Hampa. Gak ada yang keluar. Padahal tadinya kebelet banget. Ha-ha-ha -_-"
Rumah boleh kayu, kamar mandi cumplung cebluk tapi tunggangannya coy, jet sky.

Sunset di penghujung perjalanan

Tugas saya di Busua ternyata lebih lama dari perkiraan, yang tadinya saya kira akan lebih mudah menemui masyarakatnya ternyata di Busua berbeda. Kebanyakan warganya bekerja di kebun yang letaknya di pulau yang berbeda. Mereka biasa pergi ke kebun pagi-pagi lalu baru kembali sore harinya. Alhasil kami pun harus lemburan sampai malam. Jadilah saya mati gaya dua hari satu malam tanpa sinyal di Busua.



Dan akhirnya, satu lagi catatan persinggahan telah saya buat di pulau-pulau Kayoa yang indahnya nendang banget ini. Kalau ada kesempatan lagi untuk kesana saya gak akan mikir dua kali. Tapi khusus untuk liburan ya, bukan sambil kerja. Hehehe.