Wednesday, July 10, 2013

Double Summit: Gunung Pangrango (3.019 mdpl) & Gede (2.958 mdpl) 30 Juni - 2 Juli 2013

Yes! Yes! Yes! Hehehe.. Setelah penantian lama menunggu untuk mendaki gunung kembali, akhirnya kesempatan itu datang juga. Sudah hampir setahun barang kali sejak terakhir kali saya mendaki ke Gunung Semeru. Sebenarnya sudah dari akhir tahun 2012 ada rencana mau naik gunung Gede & Pangrango tapi selalu saja ada yang membuat rencana gagal. Bahkan rencana kali ini pun mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari tanggal pelaksanaan sampai crew pendakian pun rombak total.

By the way, hari ini hari pertama puasa, nih. Selamat berpuasa ya bagi yang menjalankan, semoga puasa kita semua sukses. Nah kan, jadi ketahuan kalau nulis postingan ini telat banget. Ah, tapi baru seminggu lewat ini, masih terhitung update lah ya. Kali ini tujuan pendakian saya adalah Gunung yang setiap pagi dan sore yang cerah bisa saya lihat jelas dari Jakarta, tepatnya dulu pas jaman masih kuliah, klo dapet sesi pagi trus ngelamun sambil ngadep ke arah selatan, nah, keliatan deh ada dua gunung lagi nangkring: Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Dua gunung yang saling berdekatan itulah yang menjadi tujuan saya dan rombongan. Yup, benar, dua gunung. Makanya judulnya "double summit" hehehe.. :p

Hal pertama yang harus dilakukan agar bisa melakukan pendakian di Gunung Gede dan Pangrango adalah melakukan pendaftaran online. Dimana? di http://booking.gedepangrango.org/, baca baik-baik tuh larangan dan kewajiban yang akan ditanggung selama nantinya mendaki di kawasan Gunung Gede - Pangrango. Tinggal diikuti saja instrusksi yang sudah ada. Gampang banget pokoknya. Cuma memang yang kadang bikin kesel adalah website-nya ini pernah gak bisa dibuka. Seperti yang saya alami waktu mau daftar pendakian ini. Terpaksa dengan pemikiran "ah, cuma daftarin lima orang ini, daftar di kantor TNGGP aja paling cepet", saya pergi ke kantor TNGGP di Cibodas. Sampai disana masih harus ngantri, gantian pakai komputernya, soalnya cuma ada dua komputer yang bisa dipakai. Sialnya, sampai petugas bilang, "10 menit lagi ya, kantor mau tutup", saya langsung menatap nanar ke arah petugas. Baru juga datang jam 1 siang, itu pun setelah kena macet padahal berangkat dari Jakarta dari jam 7 pagi. Barangkali kasihan sama saya, bapak petugas akhirnya memberikan formulir pendaftaran yang manual, jadi saya tinggal menuliskan langsung identitas saya dan teman-teman.

Baru juga saya merasa tenang setelah mengisi formulir dan dibilangin mbak petugas buat nunggu SIMAKSI dibikin, eh prahara datang lagi. Prahara datang waktu mbak-nya manggil dan bilang, "Ini satu SIMAKSI cuma bisa buat dua hari satu malam, kalau mau tiga hari dua malam harus bikin SIMAKSI satu lagi." Belum juga saya bereaksi mau ngomong, mbaknya udah nyerobot lagi, "Kantor udah mau tutup, kalau mau bikin SIMAKSI lagi besok aja datang lagi". Buset, dikira gue Harry Potter yang tinggal naik sapu terbang dari Jakarta ke Cibodas kali ya. Segala bujuk rayu, agar saya dikasih injury time buat bikin satu SIMAKSI lagi, dengan mata nanar sambil nyakar-nyakar meja resepsionis kantor TNGGP pun gak ngefek sama sekali. Ya sudah,  layaknya pejuang kalah perang saya balik ke Jakarta dengan perasaan hampa dan sekali lagi, nanar dan sekali lagi, kena macet.

Kegagalan mengurus dua SIMAKSI ini berakibat pada perubahan rencana perjalanan. Kalau SIMAKSI semua sudah beres, kami semua bisa berangkat bareng-bareng dari Jakarta hari Sabtu malam (29 Juni 2013) tapi karena harus mengurus perijinan lagi, terpaksa harus ada yang berkorban berangkat duluan. Jadilah saya dan satu adik tingkat saya di kampus dulu berangkat Sabtu pagi ke kantor TNGGP di Cibodas. Kali ini saya sudah siap dengan form pendaftaran online yang sudah divalidasi, jadi datang ke kantor tinggal tukerin sama SIMAKSI. Nah, kalau sistem online ini berjalan sebagaimana mestinya (website gak error) sebenarnya pendaftaran di TNGGP ini gampang banget. Bahkan memudahkan pendaki yang berasal dari daerah yang jauh. Mereka tinggal daftar online dari rumah, transfer uang pendafaftaran, langsung dapat validasi, deh. Kalau sudah dapat validasi ini kita bisa tenang, soalnya ini artinya kita sudah pasti berhak atas kuota sebagai pendaki di TNGGP pada waktu yang diinginkan. Terus pada H-1 atau malah hari-H sekalian start pendakian kita bisa mengurus SIMAKSI di kantor Cibodas. Ngurusnya pun caranya mudah, tinggal isi lembar pernyataan bermeterai lalu diserahkan ke petugas bersama tanda bukti transfer dan fotokopi KTP pendaki.

Start Pendakian via Cibodas (10.00)
Singkat cerita, hari Minggu pagi (30 Juni 2013) kami sudah siap untuk memulai pendakian. Sebelumnya setiap pendaki harus berurusan dulu di bagian perijinan pendakian dimana kami harus menuliskan daftar barang bawaan yang nantinya menghasilkan sampah. Rencana perjalanan kami secara garis besar berangkat via jalur Cibodas nanjak ke Pangrango, lalu hari berikutnya turun sampai persimpangan lalu lanjut nanjak lagi ke Gede, baru di hari berikutnya turun via jalur Gunung Putri. Maka berangkatlah kami serombongan sekitar jam 10 pagi. Selangkah demi selangkah kami jalani, masih banyak stok semangat yang membara sampai tiba-tiba salah satu teman berhenti, "hapeku ketinggalan, masih di-charge di montana". Saya cuma bisa men-yaaaah-kan saja. (-___-")

Papan informasi Telaga Biru (10:34)
Pukul 10.30 kami sampai di Telaga Biru. Sebenernya ini adalah perjalanan ketiga bagi saya melewati jalur Cibodas dan entah kenapa, mungkin faktor umur kali ya atau mungkin karena porsi latihan tidak seekstrim jaman masih kuliah dulu membuat perjalanan saya kali ini terasa sangat lama dan capek banget. Istirahat sebentar di pos Telaga Biru, langsung lanjut hingga di Pos Panyangcangan kurang-lebih jam 11.00 siang. Di sini pun kami tidak berlama-lama istirahatnya, karena walaupun di atas kertas, melihat beban kami yang cukup berat, agak sulit untuk sampai di puncak sebelum gelap, tapi dalam hati kami masih menyimpan harapan agar Tuhan mengizinkan kami bertemu dalam perpisahan dengan matahari pada sore itu. :)

Jembatan (yang dulunya) Kayu (10:45)
Pos Panyangcangan (10:54)
Dari Panyangcangan kami jalan lagi dengan fatamorgana air panas, yang sepanjang perjalanan berasa "kok gak nyampe-nyampe, sih". Lalu akhirnya pukul 13.00 WIB baru sampai di pos Air Panas.

Pos Air Panas (12:57)
Tanpa banyak membuang-buang waktu, kami langsung melanjutkan perjalanan hingga kemudian pukul 13.10 kami sampai di Pos Kandang Batu, tepatnya sih di pinggir sungai sebelum Kandang Batu. Maksudnya biar gak kejauhan kalau mau cari air. Di sini kami istirahat agak lama, sholat, dan makan ransum yang sudah kami beli di warung sebelum mulai pendakian.

Sebelum Kandang Batu (13:10)
Pos Kandang Batu (13:57)
Pos Kandang Badak (14.50)
Pukul 14.00 kami mulai lagi perjalanan. Jalur dari Kandang Batu menuju Kandang Badak sekarang sudah ditata rapi dengan batu-batuan. Yah, secara terakhir kali saya ke sini kan dua tahun yang lalu, ya, sudah banyak banget perubahan. Walau begitu masih sama seperti dua tahun yang lalu, jalur ini jalannya tidak selebar jalur sebelum Kandang Batu, jadi kadang harus gantian jalan antara pendaki yang mau naik dan mau turun. Kami sampai di Kandang Badak pukul 14.50 WIB.

Kandang Badak (14:51)
Rame banget di Kandang Badak, lagi pada ngapain sih
Weekend di Kandang Badak? Satu kata: RAME. Liat aja tuh foto di atas. Jadi inget waktu pertama kali ke Gunung Gede, nge-camp di Kandang Badak, wiiih susah banget cari spot yang layak buat bangun tenda. Kalau lihat suasana di Kandang Badak yang hiruk pikuk gini, saya selalu bete. Kesel kalau di gunung banyak orang. Tapi yah semoga saja semua orang-orang ini punya cukup tanggung jawab untuk benar-benar peduli dengan gunung. Bukan cuma naik-naik ke puncak gunung, foto-foto, turun gunung, cari internet, pamer di facebook tapi lupa bawa sampah turun, persis seperti rombongan pendaki yang saya temui di puncak Gede, satu plastik sampah dia tinggal tepat di tugu puncak Gede. Lucunya lagi, kata temen saya yang lagi ambil air di Suryakencana, dia ketemu pendaki yang nyeletuk, "eh, sampahnya ketinggalan di puncak", tapi sama sekali tidak ada kemauan mereka untuk kembali mengambil 'souvenir' milik mereka itu.

Persimpangan dua gunung :p (15:22)
Lanjuuuut... dari Kandang Badak menuju Puncak Pangrango. Jalan sampai di pertigaan Kandang Badak-Gunung Gede-Gunung Pangrango kami belok kanan. Berbeda dari jalur menuju Gunung Gede yang sudah "beraspal" (baca: jalur batu-batuan terawat yang ditata rapi), jalur menuju Gunung Pangrango ini masih jalan tanah. Agak naik lagi medan jalur sudah mulai berupa perpaduan tanah dan akar-akar pohon. Menariknya di jalur menuju Pangrango ini ada kalanya kita dipaksa untuk beratraksi melewati pohon-pohon yang tumbang dan menghalangi jalur pendakian. Ada pohon yang tumbangnya terlalu tinggi untuk dilompati jadi terpaksa kita harus main limbo atau pohon yang tumbangnya cukup rendah untuk dilompati tapi terlalu besar batangnya, jadi mau tidak mau harus akrobat dulu biar bisa lewat.

Puncak Pangrango (19:04)
Dari Kandang Badak, kami butuh waktu hampir 4 jam untuk sampai di Puncak Pangrango. Pada 30 menit pertama medan masih landai tapi setelah itu mulai bervariasi. Pendaki perlu berhati-hati kalau naik ke Pangrango karena banyak bukaan jalur baru. Ikuti saja jalur yang ada papan tanda atau pita rafia dan cenderung ikuti jalan yang ke kiri. Pokoknya selalu berhati-hati dan perhatikan jalur baik-baik, karena jalur ke Gunung Pangrango ini tidak bisa disamakan dengan jalur ke Gunung Gede yang sangat tertata rapi dan terawat.

Memasuki jam ke-4 perjalanan kami menuju Puncak Pangrango, ketahanan fisik dan mental benar-benar diuji. Badan yang sudah semakin lelah ditambah perasaan frustasi karena 'gak sampe-sampe' pun berhasil bikin mental-breakdown. Sampai pada saat matahari benar-benar hilang dari belahan bumi yang sedang kami pijak, kami menunduk, berdoa dalam diam dan merenung atas segala kesombongan kami.

Jelang sebelum sampai di batas vegetasi, saya masih ingat benar sejak pertama kali mendaki Gunung Pangrango, setelah tanjakan yang ada kayu besar banget dimana di situ bisa terlihat jelas Gunung Gede akan ada tanjakan lagi yang untuk melaluinya sampai membutuhkan pegangan dari akar-akar pohon. Nah, kalau sudah sampai sini tinggal ikuti jalur sampai menemukan area vegetasi cantigi. Ikuti jalurnya yang landai sampai tadaaa keliatan deh tugu triangulasi di Puncak Pangrango.

Karena kami sampai di Puncak Pangrango saat langit sudah gelap dan mulai ada tanda-tanda mau hujan, maka kami langsung menuju Lembah Mandalawangi. Pada keadaan gelap memang agak susah untuk menemukan jalur menuju Lembah Mandalawangi. Ancer-ancernya adalah dari gubuk rusak di Puncak Pangrango, di sebelah kanan belakangnya (depannya adalah jika kita menghadap ke Gunung Gede) di situlah jalan menuju Lembah Mandalawangi. Di sini kami membangun tenda dalam kondisi kehujanan. Alhasil jadilah tenda dengan bentuk seadanya. Secara dalam kondisi kedinginan dan tergesa-gesa, gelas cangkir tak berdosa pun harus rela menanggung beban dijadikan pasak tenda.

Sunrise Puncak Pangrango (05.30)
Setelah satu malam kami tidur dengan keadaan apa adanya dengan rain cover tenda dalam keadaan setengah terbuka menghadirkan panorama live view Lembah Mandalawangi yang nampak jelas dalam paparan sinar rembulan. Ya, malam ini cuaca sedang cerah, meski tidak berarti mengurangi angka dalam derajat celcius yang menyekap kami dalam dingin.

Alarm jam lima pagi sudah menjerit. Para pendengarnya pun tidak lantas bangun dengan suka cita. Terlalu asyik dalam dekapan dingin. Setelah melakukan proses ngulet dan berbagai ritual lainnya, akhirnya kami berangkat juga untuk sunrise-driving di Puncak Pangrango.

Lembah Mandalawangi ke Puncak Pangrango itu deket banget kok, paling hanya butuh sekitar 5-8 menit. Dan kami pun datang "kepagian", begitu sampai di Puncak Pangrango, langit masih gelap. Sampai akhirnya ciptaan Tuhan yang paling kami tunggu-tunggu pagi itu pun datang juga.





Pukul 6.20 kami kembali ke tempat nge-camp kami di Lembah Mandalawangi. Bukannya langsung bergegas bikin sarapan, kami justru jalan-jalan sambil menikmati keindahan edelweiss Lembah Mandalawangi yang memang sedang bermekaran.





Hari Kedua: Pendakian Menuju Gunung Gede
Saking asyiknya menikmati sajian panorama di Lembah Mandalawangi, sampai berat rasanya meninggalkan tempat ini. Perasaan yang sama persis saat pertama kalinya saya akan meninggalkan tempat ini dua tahun yang lalu. Seiring dengan semakin tinggi matahari memaparkan sinarnya, Lembah Mandalawangi dengan ribuan perdu Annaphalis javanica yang saling perpadu dengan pepohonan cantigi yang mengelilingi lembah, seperti mengajak setiap pemimpi dalam dunia yang penuh dengan sambut kehangatan.

Lembah Mandalawangi sebelah barat

Lembah Mandalawangi sebelah timur laut

Lembah Mandalawangi sebelah timur


Di depan tugu triangulasi Pangrango
Saat-saat terakhir sebelum meninggalkan Lembah Mandalawangi, saya manfaatkan setiap detiknya untuk merekam setiap elemen-elemen di Lembah Mandalawangi. Sekitar jam 10 lebih sedikit, kami meninggalkan Lembah Mandalawangi dengan membawa buih-buih kedamaian yang tak akan terlupakan. 

Jalur dengan area pepohonan cantigi

Jalur dengan area pepohonan cantigi
Hari kedua perjalanan kami teruskan menuju Gunung Gede. Untuk bisa menuju kesana, kami harus turun kembali sampai di persimbangan Kandang Badak. Kurang lebih 1,5 jam waktu yang kami butuhkan dalam perjalanan turun dari Gunung Pangrango. Sampai di persimpangan Kandang Badak, sambil menunggu masuk waktu sholat Dzuhur, kami beristirahat dan makan bekal buah-buahan.

Setelah disepakati bersama, kami tetap akan melanjutkan pendakian ke Gunung Gede. Memang ini sudah menjadi rencana sejak awal, tapi dalam pelaksanaan di lapangan perlu untuk merundingkan kembali rencana perjalanan dengan mempertimbangkan cuaca, logistik (khususnya air dan konsumsi) dan yang paling penting kondisi fisik dan mental dari anggota rombongan. Masing-masing anggota rombongan juga harus paham benar konsekuensi jika perjalanan dilanjutkan. Karena jika memang sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencana, pilihan terbaik adalah kembali turun via Cibodas.

Menuju Puncak Gede
Selesai ISHOMA di persimpangan Kandang Badak, kira-kira jam 12.30 kami melanjutkan pendakian menuju Gunung Gede. Dengan sisa-sisa energi yang masih kami miliki pasca pendakian Gunung Pangrango, perjalanan kami menuju Gunung Gede kali ini bagaikan slow motion. Ralat, bukan bagaikan lagi, tapi memang slow motion. Selangkah demi selangkah kami tapaki jalur bebatuan menuju Puncak Gede.

Untuk menuju Puncak Gede, pendaki tinggal mengikuti jalur bebatuan yang memang sudah disusun rapi. Pada jam 13.30 kami sampai di persimpangan tanjakan. Ada yang bilang namanya Tanjakan Rante, ada juga yang menyebutnya dengan Tanjakan Setan, saya kurang yakin mana yang benar, tapi mari kita sebut saja Tanjakan Mesra. Seperti ketika saya tanya teman saya, "Kenapa mesra?" yang dijawab dengan guyon, "Soalnya kalau lewat tanjakan ini ending-nya kan mesra." Maksudnya kan kalau sudah sampai atas akan ada teman yang membantu kita dengan menarik tangan kita sampai benar-benar berhasil melewati tanjakan. Hehehhe.. (-_-")

Tanjakan Mesra, Gunung Gede (13:26)

Keliatannya seru, kan? :p
Nah, sudah liat gambar tanjakannya, kan? Merasa tertantang? Hehhehe.. asyik, lho lewat tanjakan ini, jadi gak bosen jalan kaki terus. Tapi buat pendaki yang kuatir terpeleset atau gak yakin bisa melewati tanjakan ini, bisa lewat jalur yang lebih landai. Dari persimpangan sebelum tanjakan ini bisa ambil arah yang ke kiri. Di situ jalurnya memang lebih landai, tapi dengan konsekuensi memakan waktu yang lebih lama. Katanya, sih kalau lewat tanjakan bisa hemat waktu perjalanan sekitar 30 menit. Eh, tapi kalau lewat tanjakan trus istirahatnya sampai 30 menit bahkan lebih ya sama aja bohong. Soalnya begitu sampai ujung tanjakan trus duduk-duduk istirahat di situ sambil menghadap ke arah Gunung Pangrango, wuih pasti betah, deh.

Setelah saling tampar-menampar dan tersadar kembali pada kenyataan. Kami kembali melanjutkan pendakian ala slow motion. Ngomong-ngomong, waktu melewati Tanjakan Mesra ini, kami bertemu satu rombongan pendaki yang barengan nanjaknya. Ada beberapa foto mereka yang terekam di kamera saya. Nah, kalau diantara pembaca ada yang mengenal atau malah orangnya yang bersangkutan bisa menghubungi saya kalau memang mau, bisa saya kirim foto-fotonya.

Meski dengan langkah-langkah gontai, akhirnya sekitar pukul 14.30 sampai juga kami di Puncak Geger, yaitu area puncak Gunung Gede tapi yang bagian pinggir, karena memang belum sampai di titik puncak yang tertinggi. Di sini kami istirahat dulu, sambil foto-foto. Saat cuaca cerah, dari pojok ini kita bisa melihat jelas kawah Gunung Gede yang mengepulkan asapnya lengkap dengan pemandangan tekstur khas dinding kawah yang menjulang tinggi membentuk puncak Gunung Gede berpadu dengan birunya langit.

Puncak Geger (14:40)



Lagi nyantai di belakang rumah bareng 2 bodyguard hehehe :p
Dari tempat kami foto-foto ini rasanya sudah malas banget buat melanjutkan perjalanan. Tapi berkat dorongan semangat dari teman-teman dan persediaan air yang sudah sangat kritis akhirnya kami kembali ngesot menuju Puncak tertinggi di Gunung Gede. Butuh waktu 45 menit untuk kami jalan slow motion  dari Puncak Geger menuju Puncak Gunung Gede.

Puncak Gede (14:29)
Dengan status air yang sudah habis dan kondisi fisik di ambang batas, akhirnya diputuskan untuk nge-camp di puncak tapi beberapa orang turun ke Suryakencana untuk ambil air. Pertimbangan lainnya, dengan nge-camp di puncak kami berharap bisa menikmati sunset dan sunrise tanpa harus turun dulu ke Suryakencana lalu ke Puncak lagi. Apalagi waktu itu masih jam tiga sore, senja masih cukup lama sementara kerongkongan sudah sangat kering, lambung pun sudah menjerit meminta asupan makanan.

Sorenya kami sudah berharap bisa mengantar matahari tenggelam. Sayangnya matahari tertutup gumpalan-gumpalan awan. Tapi tidak lantas untuk tidak diabadikan. Karena bagaimanapun cara matahari menghiasi langit di atas permukaan bumi ini selalu membawa keindahan yang tidak pernah sama bahkan selalu memukau.

Senja yang tidak biasa




Hari Terakhir: Lamunan Siang Bolong di Alun-alun Suryakencana
Malam kedua kami dalam perjalanan Double Summit terlewati dengan cerita-cerita penuh suka duka. Mulai dari yang gak jelas sampai yang makin gak jelas karena satu persatu dari kami pun mulai terlelap dalam dinginnya malam.

Keesokkannya, sekitar jam setengah enam pagi saya sudah semangat untuk menunggu matahari terbit. Menunggu dan menunggu sampai akhirnya semburat jingga mulai menghiasi langit di sebelah timur. Memang tak tampak nyata matahari yang saya tunggu, tapi cukup bagi saya jingga matahari yang tidak sembarangan orang bisa melihatnya dari ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut itu. Saya hanya bisa terkagum dalam syukur.



Pukul 10.00 kami mulai berkemas. Begitu selesai packing kami melanjutkan perjalanan turun yang kali ini melalui jalur Gunung Putri. Turun dari Puncak Gede sekitar jam 10.30 sampai di Alun-alun Suryakencana jam 11.00. Ini pengalaman pertama bagi saya melalui jalur via Gunung Putri. Sepanjang jalur anatara Puncak Gede dan Alun-alun Suryakencana medannya sama seperti jalur antara Kandang Badak dan Puncak Gede. Jalur berupa tataan rapi bebatuan dengan pepohonan cantigi di kanan-kirinya. Katanya sih dulu jalannya belum serapi saat ini. Dulu belum ditata batu-batuan. Sepanjang jalur ini juga bikin saya gemes buat foto-foto. Habisnya bagus, sih. Apalagi begitu sudah mau sampai di Suryakencana. Dengan jalur bebatuan dengan pohon-pohon cantigi yang renggang-renggang jaraknya, tinggal dipasangin bangku sama lampu taman aja, pasti bakalan banyak yang pacaran di situ, deh. Hehehee..

Start turun (10:30)

Tampak jalur dari puncak Gede menuju SurKen


Sampai di Alun-alun Suryakencana (11:01)

Begitu sampai di Alun-alun Suryakencana, hal pertama yang saya lakukan adalah: TAKJUB. Memang sungguh luar biasa kuasa Sang Pelukis Alam ini. Saya masih dibuat lebih takjub lagi bahkan sekaligus merasakan sendiri betapa begitu limpahnya kebaikan Tuhan, yaitu ketika saya melihat sendiri sungai yang mengalir di tengah-tengah Alun-alun Suryakencana. Di tengah-tengah padang rumput yang begitu luas membentang kok ya bisa-bisanya ada sungai lengkap dengan limpahan air jernih yang mengalir dengan derasnya. Sumber air yang digunakan pendaki untuk minum, memasak bahkan mencuci dan mandi. Mau langsung diminum pun air dari Suryakencana ini sangat menyegarkan. Bisa merasakan segala kenikmatan alam ini membuat hati kecil saya berharap agar anak cucu saya kelak juga bisa merasakan hal yang sama.



Alun-alun Suryakencana yang luas banget

Sumber air di Alun-alun Suryakencana

Air yang jernih banget, kan?
Bicara soal Alun-alun Suryakencana, tidak bisa lepas dari ribuan perdu edelweiss yang bertebaran di hamparan padang rumput seluas 50 hektar tersebut. Sama seperti di Lembah Mandalawangi, bunga-bunga edelweiss di Alun-alun Suryakencana juga sedang mekar-mekarnya. Wah, pokoknya Subhanallah deh.. Saya sampai tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan rasa takjub saya akan keindahan alam yang sedang saya hadapi di hamparan Suryakencana, karena sekali lagi ada hal yang memukau mata dan menenggelamkan saya dalam  alam lamunan.









Berat hati kami meninggalkan hamparan lamunan di Alun-alun Suryakencana ini. Seperti tahu betapa enggannya saya beranjak teman saya bilang, "Tenang aja, kita masih akan jalan di sepanjang Suryakencana ini, jalan sampe ujung sana itu" sambil dia tunjuk arah yang dari penilaian saya tidak nampak seperti sebuah ujung. Memang dari tempat saya berdiri ujung hamparan padang Suryakencana ini tidak terlihat karena memang nyatanya ujung itu berada jauh sekali. Butuh waktu 30 menit bagi kami untuk akhirnya sampai di batas vegetasi.



Batas vegetasi (11:58)
Nah, perjalanan mulai memasuki area hutan. Selama ini saya hanya mendengar dari cerita orang-orang kalau jalur via Gunung Putri itu lebih menanjak kalau dibandingkan dengan jalur via Cibodas. Pengalaman saya kali ini jelas membuktikan omongan itu. Seperti apa nanjaknya? Liat gambar saja langsung ya.

Awal-awal sih masih landai :p (12:04)
Taddaaaa...
Nah, lho..
Kalau ada yang tanya, "Emang gak capek?" Yaa.. jelas capek, lah. Secara jalan menuruni setiap tanjakan dengan kondisi gagal dengkul itu rasanya udah kayak robot belajar jalan. Tapi keinginan kuat kami untuk buruan sampai di bawah dan segera mengisi perut pun mampu mengalahkan rasa sakit dan lelah. Udah kayak badak, langsung terjang dan kami pun sampai di Pos GPO pukul 14.39 (kurang lebih 2,5 jam dari batas vegetasi di Suryakencana).

Note:
  1. Pertimbangkan baik-baik keperluan air minum. Di Gunung Gede/Pangrango ini memang tersedia air dalam jumlah yang banyak. Mulai dari sungai dari Air Terjun Cibeureum, Sungai di Kandang Batu bahkan di Kandang Badak pun ada. Khusus untuk air di Kandang Badak saya pribadi lebih menyarankan untuk keperluan memasak saja. Pengalaman saya pernah minum air di Kandang Badak tanpa direbus dulu efeknya kerongkongan saya jadi gatel.
  2. Masih soal air. Di Lembah Mandalawangi ada sumber mata air, tapi volumenya sangat tergantung dengan curah hujan. Untuk memastikan apakah ada air di mata air ini alternatif caranya adalah seperti yang dilakukan oleh seorang teman saya. Sepanjang perjalanan, dia menanyakan kepada setiap pendaki yang sedang jalan turun. Jika pendaki tersebut turun dari Puncak Pangrango atau Lembah Mandawangi tanyakan apakah ada cukup air di mata air di Lembah Mandalawangi. Jika memang ada air cukup banyak, kita bisa mengurangi bekal air minum. Tapi kalau tidak, alangkah baiknya mengecek kembali persediaan. Kalau ternyata tidak cukup, bisa ambil air di Kandang Batu atau Kandang Badak.
  3. Mata air di Lembah Mandalawangi
  4. Kurangi membawa perbekalan yang dapat menimbulkan sampah non-organik. Logistik konsumsi yang biasanya mie instan bisa diganti dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Sayuran bisa dibeli di pasar Cibodas, harus pinter nawar biar dapet harga yang murah. Hehehee..
  5. Kalau baru pertama kali mendaki dari jalur Gunung Putri, sebelum Pos GPO itu ada jalan yang sedikit membingungkan. Awalnya kita akan melewati jalan cor-coran. Nah, akan ada belokan tuh, kalau mau ke Pos GPO kita mesti ambil jalan yang lurus. Biar lebih jelas liat gambar aja. 
Kalau mau naik, ambil jalan yang lurus terus
Terimakasih!
Sekali lagi, luapan syukur yang meletup-letup saya tujukan kepada Sang Penguasa Semesta Alam, Allah SWT. Pada setiap langkah yang tertapak dalam sepanjang perjalanan, di setiap tarikan napas yang memenuhi ruang paru-paru, untuk teguran yang membuat saya belajar lebih memahami dan atas segala limpahan kenikmatan yang telah saya alami selama pendakian ini, terimakasih ya Tuhanku lagi-lagi Engkau berikan keajaiban yang begitu luar biasa.

Terimakasih juga!
  1. Bapak dan Ibuk di rumah yang telah sudi mengizinkan anak perempuan satu-satunya ini kelayapan.
  2. Lophe, Adi, Eddy dan Nia. Teman seperjalanan yang jagoan abis!
  3. Temen-temen di Montana yang sudah banyak membantu dan semua pihak yang sudah turut berpartisipasi memberikan warna dalam perjalanan ini.
Catatan Keuangan 
menyusul yaa :p

Sekian. Terimakasih sudah membaca. Sampai berjumpa di perjalanan berikutnya. ^_^


There's always gonna be another mountain
I'm always gonna wanna make it move
Always gonna be an uphill battle
Sometimes I'm gonna have to lose
Ain't about how fast I get there
Ain't about what's waitin' on the other side
It's the climb


(Jon Mabe dalam judul "The Climb" dinyanyikan oleh Miley Cyrus)